Tag Archives: jakarta

Kerja di Jogja Gaji Jakarta

Standar

Tidak hanya sekali saya mendengar ada teman yang berharap bisa mendapatkan pekerjaan di Jogja dengan gaji Jakarta. Gaji Jakarta hanyalah istilah untuk menyebutkan gaji dengan standar kota metropolitan, bukan kota kecil. Teman lelaki, teman perempuan, saya pernah mendengar dari keduanya.

Ada sedikit teman dan kenalan (bisa diitung pakai jari di satu tangan) yang sangat beruntung karena pekerjaannya ditempatkan di Jogja dengan gaji yang sama dengan gaji yang diterimanya ketika masih di Jakarta. Ya, mereka sudah pernah ditempatkan di Jakarta sebelumnya.

Ada lagi teman yang bekerja di perusahaan minyak/tambang yang bilang, “Kalau ada kerjaan di Jogja dengan gaji di site, wah… pasti saya ambil.” Saya cuma senyum-senyum saja mendengarnya. Itu sih banyak orang juga mau. Hehehe.

Nah, kerja apa sih di Jogja biar bisa dapat gaji Jakarta?

Dari beberapa kenalan saya, tidak ada yang mendapat gaji Jakarta dan penempatan Jogja secara langsung. Mereka setidaknya pernah bekerja di Jakarta atau daerah lain (terutama di luar Pulau Jawa). Ada yang sebagai auditor internal, banker, dan sales manager. Jadi, menurut saya, untuk para pekerja/pencari kerja yang berharap mendapat gaji besar namun ditempatkan di Jogja, carilah kesempatan itu melalui perusahaan yang prospektif dan mulailah cari di luar Jogja, terutama cari yang memiliki kantor cabang di Jogja.

Menurut seorang karyawan perusahaan nasional, di perusahaannya, wilayah Jawa Tengah & Yogyakarta hanya bisa ditempati oleh orang yang paling berprestasi/paling lama mengabdi di perusahaan tersebut. Karena Jogja Jateng adalah wilayah idaman.

Beberapa freelancer (senior) di bidang IT/desain bisa mendapatkan gaji yang besar jika sudah pernah mengerjakan proyek dari luar negeri/perusahaan nasional & global.

Saya rasa itu yang saya tahu tentang bekerja di Jogja dengan ‘gaji Jakarta’. Jika ingin memiliki pemasukan yang tinggi dengan aktivitas yang relatif santai, sebaiknya menjadi konsultan, pembicara, business owner (tanpa menjadi manager) atau investor.

Selamat mencari cara merasakan bekerja di Jogja dengan gaji Jakarta… Good luck.

3 Kesulitan Utama Membuat Online Shop

Standar

Menjalankan online shop. Terdengar mudah? Bagi saya pribadi, tidak mudah. Saya menginginkannya sejak saya pertama kali menjalankan toys store di Maret 2012. Kapan mulai berhasil menjual dengan rutin? Oktober 2013.

Apa sulitnya merealisasikan online shop?

1. Sibuk melakukan pekerjaan rutin

Pada tahapan merintis bisnis kecil, banyak hal saya tangani sendiri. Semua pekerjaan saya pernah lakukan di toy store kecuali bersih-bersih (mainan, display dan lantai). Mulai dari pemilihan produk baru u/ dijual, pemesan barang kontinyu, pengkodean produk, penentuan harga produk, pelabelan harga, penjualan, pengadaan alat kerja (ATK, display, lampu, software, dll), akuntansi, reporting, subordinate controlling, dan HRM (human resource management). Semua hal kecil itu nampak sepele, tapi tidak bisa saya sepelekan. Penyepelean dapat menyebabkan bisnis mengalami kegagalan.

Ada saat saya begitu rutinnya mengerjakan pekerjaan-pekerjaan tersebut hingga saya tidak menyempatkan untuk memulai mendokumentasikan produk dalam bentuk foto untuk dipajang di online shop. Hingga suatu saat saya mendapat permintaan oleh seseorang untuk menjadi reseller (dropship) hingga saya terpaksa untuk melakukannya dan mendelegasikan & menunda beberapa tugas rutin saya.

2. Pelanggan offline store tidak mengakses akun media sosial

Saya sudah memasang akun Facebook dan Twitter dari toy store saya sejak Oktober 2012 di neon box depan outlet. Pemajangan yang demikian memaksa saya untuk meng-update isi dari kedua akun media sosial tersebut dengan foto-foto produk baru. Awalnya saya unggah foto-foto hanya di Facebook, berbulan-bulan tidak ada pembeli (yang signifikan). Setelah ada akun Twitter, saya lalu mengunggah dari Twitter dan di-link dengan akun Facebook. Tetap tidak ada pembeli (yang signifikan). Semakin lama, usaha nampak sia-sia, saya jadi agak kurang bersemangat meng-update kedua media sosial tersebut.

3. Memilih media sosial yang kurang cocok

Saya tidak menggunakan istilah “media sosial yang salah” karena ada kemungkinan media sosial itu cocok bagi satu orang, dan kurang cocok dengan orang yang lain. Hanya masalah efektivitas yang berbeda pada tiap orang. Pendeknya, setelah Facebook dan Twitter tidak berhasil, saya berusaha melongok Kaskus dan Berniaga.com. Kisah saya dan Kaskus berjalan sangat pendek. Saya bahkan tidak berhasil memahami bagaimana posting di Kaskus. Di Berniaga.com saya menemukan bahwa produk di sana mahal-mahal dan saya ragukan berapa banyak yang akses.

Di kemudian hari, saya melihat fenomena online shop di Instagram yang sering sekali spamming di foto selebritis. Reseller saya berhasil menjualnya di sana, maka saya mengikuti. Saya mulai memajang katalog di Instagram. Akhirnya perlahan-lahan online buyer mulai meramaikan online shop saya.

Tips berjualan di Instagram oleh Aurelia Claresta:

Di Instagram banyak sekali foto indah, maka foto katalog barang pun harus terlihat simpel, clean, dan berkualitas baik.

Selain itu, jangan pernah spamming jika Anda sendiri tidak suka spammer. Cari perhatian calon pembeli bisa dengan membuat hashtag yang populer di kalangan online shopper, me-like foto, maupun menaruh comment yang relevan dengan foto tersebut.

Bisa juga dengan menggunggah foto2 produk yang diperagakan model sehingga berkesan pro.

Mengunggah foto testimoni dari pelanggan yang membuktikan Anda benar-benar trusted seller yang menjadi isu besar bagi para online shop. (Walaupun sesungguhnya saya kurang suka mengunggahnya karena mengganggu keindahan postingan foto)

Selamat mencoba 🙂

NB: akun toy store saya @storeMJtoys… mostly produknya adalah boneka dan bantal (karena produk itu yang cenderung aman dari kerusakan pengiriman karena tidak ada resiko pecah)

Gambar

Mobil Pribadi atau Taksi

Standar

Selamat pagi, selamat hari Selasa. Weekend masih lama. 🙂

Sumber inspirasi tulisan kali ini adalah tetangga saya. Begini kisahnya. Ibu saya bercerita singkat tentang Pak Rudi (bukan nama sebenarnya) tetangga kami yang menjadi hakim di Jakarta tapi memiliki rumah di Jogja. Di Jogja Pak Rudi ini memiliki mobil baru yang biasa dibawa istrinya. Di Jakarta, Pak Rudi ini kos. Mobil lamanya dibawa serta ke Jakarta. Tapi yang terjadi adalah Pak Rudi lebih sering naik taksi daripada menyetir mobil sendiri.

p22-b_20.img_assist_custom-400x273

Picture courtesy: The Jakarta Post

Saya tidak heran jika demikian. Jika Pak Rudi kos untuk bekerja di Jakarta, maka kosnya seharusnya tidak terlalu jauh dari kantornya. Untuk jarak dekat, menggunakan taksi jelas lebih hemat daripada membawa mobil sendiri. Jika Pak Rudi membawa mobil sendiri, Beliau harus mengeluarkan uang bensin, uang parkir (yang tidak sedikit), mengeluarkan energi untuk menyetir (apalagi kalau macet), plus harus meluangkan lebih banyak waktu dan energi untuk memarkir mobil. Keadaan lalu lintas di Jakarta itu sangat bikin stres, kadang ‘sedikit’ uang tidak terlalu berarti jika harus ditukar dengan kedamaian pikiran dan hati.

Kelebihan lain dalam memilih taksi daripada memiliki mobil pribadi antara lain tidak perlu mengeluarkan uang yang besar untuk membeli mobil, tidak membayar pajak kendaraan & asuransi mobil, tidak perlu merawat mobil, plus memiliki sopir pribadi (tidak perlu menyetir sendiri).

Tapi itu semua itu hanya berlaku bagi orang-orang yang memiliki jarak tempuh yang dekat, jika kantornya di Sudirman rumahnya di BSD, sudah jelas naik taksi bukan pilihan. Mungkin harus naik kereta api (commuter line) atau Shuttle BSD dulu baru disambung naik taksi.

Selamat bekerja, pembaca yang budiman. Weekday masih panjang! Enjoy your work!

 

Jalan-jalan itu Belajar yang Mengasyikkan

Standar

Anak-anak jenius mungkin mudah dalam membayangkan hal-hal yang ditulis di buku dan mengingatnya. Nggak berlaku buat saya. Bagi saya, belajar itu paling ‘nyangkut’ kalo dilihat sendiri dan konkret. Apakah ini bisa dibilang saya tipe pembelajar kinestetik? Entahlah, belum di-tes, tapi sementara saya beranggapan seperti itu. Saya pembelajar kinestetik.

Dalam rangka pergi ke acara annual retreat perusahaan, seisi kantor yang statusnya sudah pegawai tetap, rame-rame berangkat ke Siem Reap, Kamboja 16 Mei 2011 yll. Rutenya melewati Singapura dulu, baru ke Siem Reap.

Uhuy, hello Singapore! Lamo tak jumpo! (norak dotkom). Di Singapura cuma ada waktu untuk ‘main’ 1 jam. Alhasil, cuma dipakai untuk keliling-keliling airport. Kualitasnya jauh banget sama SHIA (Soekarno Hatta International Airport).

Kalau punya Singapura dikasih nilai 9,5, Indonesia dikasih nilai 6,5.

Banyak outlet duty free, di mana barang tidak dikenai pajak, fungsinya supaya turis tertarik untuk belanja. Hal yang mengagumkan adalah di dalam ruangannya, semua anggrek di sana asli. Iri deh, kok bisa sih? Kok ga nemu yang gituan di Indonesia, sih?

Hal lain yang bikin mupeng adalah, lansianya masih pada kerja. Aaaa… kerennn. Lansia itu seneng loh, punya kerjaan. Yah, walau kerjaannya simpel seperti lap meja di Burger King atau ngumpulin trolly dengan ‘scooter berjalan’. Mereka pasti merasa hidup mereka lebih berarti ketika masih bisa berguna di hari tua.

Trus juga ada fasilitas toilet yang khusus buat ibu yang bawa anak kecil. Ke toilet bisa tetep jagain bayinya. Aman deh. Kenapa di Indonesia belum pernah liat, yah? Apa karena asumsinya bawa bayi ke mall pasti bawa baby sitter-nya?

Hal yang bikin mupeng adalah toko yang bener-bener pamer abis. Pameran cokelat. Pulang-pulang ke Indonesia, saya yang biasanya nggak pernah mikirin M&M chocolate, akhirnya jadi impulsive. Hedeeeh. Mataaa.. mataa… [bersambung]

Cerita Pak Supir Taksi

Standar

Aurelia naik taksi. Mengapa Aurelia naik taksi? Alasannya hanya ada tiga… ehm.. empat. Satu, karena sedang hujan agak lebat (atau lebat banget). Dua, karena sedang bawa barang berat (biasanya karena gotong2 peralatan untuk tugas di luar kota). Tiga, karena antrian di Trans Jakarta panjangnya kebangettttan (diprediksikan karena sistem pengaturan alokasi bis yang tidak modern dan tersistem). Empat, karena sudah terlalu terlambat untuk nungguin bus Trans Jakarta, even ga pake ngantri.

Dan seringkali saya naik taksi karena alasan yang ke empat*.

* nggak ada statistiknya juga sih, tapi perasaan sih gitu

Okay, ceritanya adalah, di suatu pagi yang nggak gitu terburu-buru, saya naik taksi. (Lho, nggak terburu-buru kok naik taksi) [Sttt…diem ah.. orang lagi cerita jangan disela. husss….] Sambil make alas bedak, bedak, dkk, saya iseng nanya-nanya aja sama Pak Sopir. Ini namanya tes lempar pancing.

Armadanya Ex*press (nama taksi = bekas ditekan) ada berapa, Pak?

Tentunya yang saya tanya adalah armada yang di Jakarta dan sekitarnya (emang di kota lain ada Taksi Express juga?). Dan jawabannya adalah

Oh, Ex*press mah ada 12.000, neng. Sekarang nambah lagi.

Dalam hati saya: “kamfret! ngapain juga banyak-banyak ni taksi. Menurut pengamatan saya, separo dari mobil-mobil yang ngantri di lampu merah Harmoni itu adalah taksi. Ngerti kan, apa yang memperparah kemacetan Jakarta?! Okay, walaupun di dalam hati boleh terjadi demonstrasi besar-besaran, di luar harus tetep cool. Tetep iseng mau nanya-nanya si tukang taksi. Siapa tahu secara iseng-iseng bisa mengetahui betapa besar potensi bisnis pertaksian Jakarta (halah…..).

Di satu pool ada berapa banyak taksi, Pak?

Si Pak Taksi kemudian menjawab bahwa di sebuah pool ada 300 sampai 500 taksi. Merasa mendapat angin, si Pak Taksi mulai bercerita bahwa perusahaan Taksi Burung Biru (eh, bukan game burung-burungan yg di-tap membelah diri jadi tiga itu, bukan…) itu armadanya lebih sedikit daripada perusahaan taksi ‘Bekas Ditekan’ itu. Lagipula, taksinya si suku Burung Biru itu nggak semuanya keluar dari pool, katanya. Suku Burung Biru konon sedang kekurangan supir.

Entah emang dasarnya si supir taksi demen cerita, atau bagaimana. Yang pasti, berikutnya saya tidak perlu bertanya lagi, dia sudah berkicau sendiri. Berikut adalah kutipan langsung dari cerita pak supir taksi.

“Iya, neng. Blue*Bird mah paling armadanya 11.000. Itu juga nggak semua taksinya keluar. Mereka kekurangan supir. Pada pindah ke Ex*Press. Di Ex*Press kan sistemnya kepemilikan. Kalau udah 5 tahun, mobilnya boleh dibeli. Saya udah beli 2 mobil. Ini yang ke-3, semoga bisa saya beli juga.”

Dan saya pun tinggal nambahin sedikit “oooo..” atau semakin ngomporin si supir yang ternyata emang doyan cerita ini.

“Mobil yang pertama saya jual. Yang kedua ditawar orang Rp75 juta saya nggak kasih neng. Buat istri. Saya dandanin, dicat merah ati. Beughh, cakep bener dah. Abis berapa tuh ya? Lima belas (juta) ada kali. Yang penting istri seneng. Walo mobil bekas teksi** kalau dibagusin kan enak ngeliatnya. ” (** tipikal supir taksi: cara baca = seksi – s + t)

Okay #swt. Ni sopir tukang pamer. Hahaha…. Abis ini dia pamer lagi berapa biaya yang harus dia bayar tiap bulan.

“Tiap hari saya harus nyetor Rp300.000, neng. Itu harus tiap hari. Artikan kan, sebulan saya bayar Rp9.000.000 (dengan nada bangga). Nggak boleh kurang itu, neng.Tiap hari harus bayar.”

Dan pembicaraan masih teruuus sampai saya akhirnya sudah sampai di depan lobi gedung perkantoran dan memberinya uang Rp18.000. (kenapa nggak 20 rebu aja sih? pelit amat) [heh! brisik.. kalo nggak rela, tambahin kek, 2 ribunya]

Saya menutup pintu taksi berwarna putih itu sambil tersenyum dalam hati

Kalau frustasi nggak pernah ngumpul-ngumpul duit, nanti saya nglamar jadi tukang taksi aja, deh. 🙂

Ngomongin Busway

Standar

Banyak cerita seputar angkutan umum bus TransJakarta. Selama stay di Jakarta, saya selalu mengandalkan TransJakarta untuk wira-wiri ke sana-ke mari. Syukurlah sampai sekarang saya masih memanggilnya dengan nama aslinya, TransJakarta. Saya belum berhasil tercemar dengan penggunaan nama ‘busway’ ala orang Jakarte.

Di suatu malam, perjalanan pulang ke kos teman di Dukuh Atas, saya tak tahan untuk tidak tersenyum ketika seorang bapak tua mengangkat telepon-seluler-tahun-jebotnya dan mengatakan pada lawan bicaranya “gua lagi di biswai”. Ya ampun, how come namanya bisa berubah begitu? Busway masih oke, lah ya. Biswai? Sejenis pawai atau tetangganya Hawaii? Sungguh menyesal saya tidak bisa menahan senyum nggak sopan saya. Maafkan saya, Pak… Saya ‘sok kota’ dan ‘sok terpelajar’ (agak menyesal).

Kembali dengan kebiasaan orang-orang menyebutnya busway. Temen-temen Jogja saya yang sudah jadi orang Jakarta (kerja dan mulai menetap di Jakarta) juga sudah memanggilnya busway. Memang melawan arus itu nggak mudah. Lagian, ngapain juga ngelawan arus. Toh semua orang juga ngerti, apa itu busway.

Trus, kenapa saya masih terus bilang “TransJakarta” kalo ada yang nanya “nanti mau ke sana naik apa?”? Simple. Karena kendaraan itu nggak pantes disebut busway. Anak TK ato SD juga tau kalau bus way itu kalau diartikan ke bahasa Indonesia, artinya jalan bus. Penulisannya pun dipisah: bus (spasi) way, dan bukan busway. 🙂 Kenapa saya seolah ngotot? Ya karena menurut saya ini adalah bukti kekonsistenan. Mengapa saya harus benar dalam memilih kata interesting dan interested, kalau saya sudah salah menyebut bus dengan bus way?

Hey hey hey, saya nggak berdiri menantang sekian juta manusia Jakarta, yang nyebut bus TransJakarta sebagai busway ya…. Saya hanya menjelaskan, kenapa saya berperilaku beda. That’s all… Saya nggak niat nyolot dengan tulisan ini. Saya pendamai. Ga suka cari ribut. Ribut itu adalah kegiatan yang nggak menghasilkan keuntungan dan cuma menyerap habis ketenangan hati (yg mahal harganya).

Saya rasa, masyarakat juga nggak salah kalo menyebut si bus sebagai busway. Kenapa? Karena dari penyedia jasa sendiri seolah menamai diri busway. Terlihat di ruas jalan bus TransJakarta, plang hijau bertuliskan ‘jalur khusus busway’. Ada plang merah bergaris putih (tanda dilarang masuk/dilarang lewat) dengan tambahan kata-kata ‘kecuali busway’. Terdengar rekaman suara wanita di dalan bus, ‘terima kasih, sudah menggunakan jasa bus TransJakarta, busway’. Heleh-heleh…. Ya pantes aja semua orang jadi manggil si bus sebagai busway.

Saya mikirnya sih gini, Jakarta kan banyak bule-nya ya. Cerita tentang busway ini mungkin juga jadi oleh-oleh buat semua kerabat, teman, sodara di negara asal. Bahwa di Indonesia (maksudnya Jakarta, tapi sapatau nama Indonesia yg dibawa-bawa) bus way adalah nama kendaraan 🙂

Kejadian ini lucu, karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang paling populer di Jakarta (dan Indonesia). Anak muda gaul, kaum eksmud, sosialita-nya bahkan lebih bagus dalam menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. So fluent… Mereka seringkali mengerti istilah Inggrisnya, tapi susah untuk menemukan kosa kata Indonesianya. 🙂 Pertanyaannya: “Bagaimana mereka bisa salah pakai begitu ya?,” mungkin begitu kira-kira pikir para bule itu.

Syukurlah di Jogja, namanya masih TransJogja. Karena ga pernah ada plang dan semprotan cat di aspal yang menuliskan ‘busway’. Good job Jogja…. Hehehe 🙂

Pada Sebuah Taksi

Standar

Pada sebuah perjalanan buru-buru karena si penumpang tidak disiplin waktu, sebuah taksi dihentikan dan meluncurlah taksi itu ke sebuah mall kecil di daerah Pejaten.

Nama supir taksi itu adalah Suwarno. Asalnya dari Karang Anyar, daerah yang terkenal dengan objek wisata Grojogan Sewu-nya, tetangganya Solo. Nasib membawanya ke Jakarta. Ia memilih untuk bekerja pada perusahaan taksi nomor satu di negri ini. Akhirnya pindahlah ia ke Jakarta. Begitu juga keluarganya menyusulnya ke Jakarta.

Si penumpang usil mengajukan satu, dua, banyak pertanyaan. Ia kemudian agak takjub dengan cerita si supir. Pak supir yang ditaksir usianya sekitar tiga puluhan atas atau empat puluhan bawah, demi hidupnya, hanya pulang ke rumah kontrakan dua hari sekali. Sehari tidur di rumah, sehari tidur di pool taksi. Dari rumah kontrakan di Bekasi pinggir menuju pool taksi, harus menaiki angkot (angkutan umum) sebanyak 3 kali. Perjalanan bersama angkot memakan waktu 2 jam.  Kontrakan 3 petak yang dikontraknya, mengharuskannya menyisihkan Rp250.000 per bulan. “Kalau tinggal di Jakarta, segitu pasti nggak dapet,” begitu katanya.

Sehari ia akan mendapatkan 10% dari total uang hasil ‘narik taksi’ jika yang didapat di bawah target. Target dari perusahaan itu adalah Rp500.000 per hari. Si penumpang agak syok. “Wah, gede juga ya, target supir taksi,” pikirnya bego polos. Kalau berhasil melebihi target, maka persenannya bertambah. Hmm, pantas saja pak supir ini harus pulang ke rumah tiap 2 hari sekali.

Penumpang itu kemudian berkata pada dirinya sendiri, bahwa hidupnya kalaupun bisa ‘enak’, tidak boleh semena-mena, tidak boleh berlebihan, tidak boleh tidak sederhana…. Penumpang itu berusaha mencamkan hal itu baik-baik. Dalam hati dan pikirannya.

Makan @ Jakarta [2]: Sushi Tei

Standar

2. Sushi Tei (Plaza Senayan, MKG, dll)

Keluarga saya ada di Jogja. Di Jogja nggak ada sushi oke. Jadi, Jakarta agak identik dengan memenuhi hasrat makan sushi. Hehehe. Maklum ya, wong ndeso.

Melalui official web-nya, saya jadi tahu bahwa Sushi Tei asalnya dari negara tetangga, Singapura. Satu hal yang membuat Sushi Tei menjadi bisnis yang sangat baik adalah karena value-nya yang tinggi di antara restoran sushi dan makanan jepang lainnya. Apa yang menentukan value? Value dihitung dengan cara membagi benefit dengan harga. Semakin tinggi benefit, semakin rendah harga, semakin tinggi value yang didapat oleh para konsumen. Sushi Tei menawarkan sushi dalam porsi yang kecil-kecil, sehingga harganya pun jadi makin terjangkau. Selain itu, Sushi Tei memiliki Kaiten Sushi / kereta sushi. Sushi dengan piring-piring kecil diletakkan di roda berjalan yang mengelilingi open kitchen dan para chef. Pemandangan yang menarik dan menggiurkan.

Saya baru 2 kali makan di sini. Keduanya bersama Herman ^_^. He knows that i love sushi so much. He treated me sushi three times, if i’m not mistaken.

Apa yang menjadi favorit saya di sini?

Saya suka sekali sushi dengan tobiko (telur ikan terbang) yang banyak dan mayonaisse yang bikin sushi terasa maknyus. Oleh karena itu, saya nggak akan absen untuk memesan Kanimayo Tobiko Maki.

Kanimayo Tobiko Maki

Herman menyukai sushi yang berisi ikan yang dicampur dengan cacahan kacang mede/mete. Namanya Stamina Maki. Saya rasa ini juga pilihan yang bagus. Nice!

Stamina Maki

Selanjutnya, auntie Tien (my auntie from mom) mencoba sushi mentah ter-oke yang pernah saya coba. Selama ini kalau makan sushi mentah suka kecewa. Hambar atau nggak fresh. Namanya Rainbow Roll Set (Rp65.000). Next time harus makan ini lagi 🙂

Rainbow Roll Set

Ayo makan sayur! Bosen dengan sayur yang itu-itu aja? Mari makan salad di Sushi Tei. Saya mencoba salad ini. Saya tidak ingat namanya. Yang pasti salad ini terdiri dari irisan wortel, selada keriting, dan 2 jenis rumput laut. Yiha!! Nice try!

Salad dengan nama yang rumit

Masih belum kenyang? Salah satu kesukaan saya adalah tuna. Kali ini, sushi yang dibungkus nori dan atasnya penuh dengan tuna. Sluurrrpp.

Saya tidak ingat namanya. Mungkin Tuna Roll?

Dessert yang lumayan. Bikin acara makan makin asyik.

Ice cream with ogura (forget the commercial name)

Chocospoon (Rp20.000)

Makan sushi paling enak beramai-ramai. Karena bisa comot sana comot sini. Cicip banyak jenis sushi yang tidak mungkin dilakukan kalau datang sendirian (baca: 2 atau 3 menu sudah kenyang). Kalau datang ber-4, bisa coba 7-10 menu 🙂 Asyik kan…. Makanya, jangan sendirian datang ke sini. Rugi. Sepi… Kurang asyik…

Semua foto makanan ini diambil dengan kamera Canon Ixus 970IS milik ibu saya. Yang motret siapa? Ya saya, dong. Hehehe.

Belum pernah ke, Sushi Tei? Agendakan sekarang! 🙂 Dijamin happy

Nebeng[dot]com

Standar

Sebel banget deh sama ketergantungan pada Facebook…. Si bloggie jadi kesepian. Jarang nulis. Jadi malas…

Nah, di sore yang sumpek ini… saya ingin memberi informasi buat anda yang belum tahu bahwa ada website yang mem-fasilitasi kegiatan tebeng-menebeng. Web nebeng[dot]com ini mulai ada sejak 28 September 2005. Sementara baru mem-fasilitasi daerah Jakarta dan sekitarnya doang.

Ada juga nebeng[dot]info yang mempertemukan mudik-er. Hehehe… Yo, ditarik…ditarik… Jombang… Jombang….Surabaya…. Hehehehe

Saya memberikan apresiasi buat mereka-mereka ini yang menginisiasi web ini. Kreatif… Membantu negara dalam mengatasi masalah transportasi dan kemacetan di daerah ibukota. Mantap!

Saya juga ingin bisa memberikan sesuatu yg sederhana tapi berarti bagi sekitar saya 🙂 Dengan cara apa, ya???

Anyway, busway, corduray [ngaco]…. Kerasa nggak sih, postingan kali ini lesu banget. Ya nggak? Kaya nggak ada soul-nya. Entahlah… Cuma perasaan saya saja, mungkin

Sumber gambar

Jakarta… I’m Comin…

Standar

Liburan lebaran ini, aku akan ke Jakarta. Belum kurencanakan mau ngapain aja. Ke mana aja. Tapi belum-belum udah dapet pesen dari si mom. Bantuin adiknya cari kuliah, daftarin adiknya les….dst dst…

Padahal pengen maen ke kos kos temen SMA… Ngelayap bak backpacker ke Jakarta. Mungkin ketemu Mas Yu yang di Trans 7. Ato.. siapa ya??? Ketemu Uwie (my best friend)… Siapapun lah… Sebelum bikin skripsi & akhirnya nggak jadi mahasiswa lagi… Mau jalan-jalan 🙂

Yang nggak ketinggalan, mau cari sandal & sepatu di Jakarta. Maklum, Jogja masih terbatas pilihannya. Udah hunting sampe Solo aja masih belum ketemu yang oke…. Harus ke Jakarta

Jakarta… tunggu aku. Dan yang penting juga, jangan biarkan aku dicopet di kotamu.