Tag Archives: manajemen

Gajilah Karyawan Sesuai Permintaan Mereka

Standar

Beberapa malam yang lalu saya melihat tweet berisi link artikel yang menarik. Biasanya saya hanya akan me-mention pacar saya yang kemungkinan besar akan melahap semua bacaan baru yang berhubungan dengan organisasi dan manusia. Tapi kali ini saya memilih untuk membacanya sendiri dan membuat rangkuman/terjemahan atas artikel itu, agar saya sendiri belajar sesuatu.

Ya, tiap orang bertanggung jawab untuk membuat dirinya sendiri belajar setiap hari untuk bertumbuh.

Kali ini bertumbuh secara ilmu perilaku organisasional.

Gambar

Artikel tersebut berbahasa inggris. Saya sendiri terus terang malas membacanya dengan serius. Bagi saya, butuh ketekunan untuk memahami artikel semacam ini dalam bahasa Inggris. Judul artikelnya “Pay Employees What They Ask for. Here’s Why”. Penulisnya Ilya Pozin. Ilya Pozin (@ilyaNeverSleeps) adalah pendiri agensi pemasaran digital untuk start-up dan perusahaan kecil, Ciplex.

Gambar

Saran Pozin sederhana. Jika kamu ingin karyawan yang bergairah, produktif dan melakukan apapun untuk perusahaan, maka gajilah mereka sesuai dengan permintaan mereka. Alasan Pozin, karyawan menghabiskan sebagian besar waktu mereka untuk pekerjaannya. Idealnya orang bekerja di suatu tempat karena mereka sungguh menyukai (pekerjaan)nya di sana, dan bukan semata karena berapa banyak mereka dibayar di sana.

Di perusahaannya, Ciplex, tidak ada bonus, tidak ada penilaian karyawan yang terkait dengan kenaikan gaji, dan uang tidak digunakan sebagai motivator. Mereka ‘mengenyahkan uang dari meja’ sejak dari hari pertama karyawan bekerja. Sebagai hasil dari strateginya, Ciplex mendapatkan karyawan yang paling antusias dan berdedikasi. Kenyataannya, para karyawan itu sering mendapatkan tawaran pekerjaan yang bergaji lebih tinggi yang tidak menarik untuk mereka.

Gambar

Begini saran Pozin untuk perusahaan agar uang BUKANlah HAL yang MEMBUAT karyawan bekerja keras:

Enyahkan uang dari karyawan tipe “sudah dapat-pergi”

Saat interview pertama kali, tanyakan pada calon karyawan potensial berapa gaji yang mereka inginkan, alih-alih mengatakan berapa yang harus ia terima. Jangan menegosiasikan gaji atau membuatnya terpaksa menerima gaji yang lebih rendah dari kebutuhannya. Jika itu yang dilakukan, maka karyawan itu akan SELALU memikirkan uang dan mencari-cari pekerjaan lain yang dapat memberi gaji lebih. Karyawan itu juga tidak akan pernah berdedikasi penuh pada perusahaan.

Minta perincikan kebutuhan mereka

Calon karyawan potensial mungkin akan mengatakan ia menginginkan gaji 10 juta Rupiah. Jangan berhenti sampai situ saja. Lanjutkan dengan “Berapa tawaran gaji dari perusahaan lain yang dapat membuat Anda menerima tawaran wawancara atau meninggalkan tawaran kami?” Anda harus waspada mengenai motivasi calon karyawan akan uang sebelum mereka resmi menjadi karyawan Anda.

Di Ciplex, ada seorang karyawan yang mendapat gaji $60.000 per tahun. Sejak bekerja di sana, ia mendapat 3 tawaran kerja senilai $80.000 per tahun, namun tidak pernah diambil karena ia tidak termotivasi akan gaji yang lebih tinggi dari yang diterimanya. Gaji yang diberikan di Ciplex sudah menjamin seluruh kebutuhannya, dan ia memang senang dengan pekerjaannya di Ciplex.

Pastikan karyawan tidak sekedar termotivasi oleh “jumlah uang”

Gambar

Di Ciplex, setiap karyawan diminta untuk memerincikan tagihan bulanannya seperti cicilan rumah, sewa, listrik-air-gas, pulsa, dan seterusnya untuk melihat berapa sesungguhnya kebutuhan mereka.

Di Amerika, orang terbiasa menyebutkan gaji tahunan, namun tidak ada orang yang membayar tagihannya secara tahunan. Oleh sebab itu, tidak efektif membahas gaji tahunan. Pelajari kebutuhan bulanan karyawan Anda dan pastikan perusahaan membayarnya.

Jika Anda tidak bisa memberikan keinginan karyawan, saatnya berpisah

Seorang karyawan mungkin akan mengatakan bahwa ia membutuhkan uang melebihi kemampuan Anda membayarnya. Karyawan semacam itu akan selalu mencari cara untuk meningkatkan pendapatannya daripada berdedikasi penuh pada perusahaan Anda.

Jika demikian, nampaknya ia bukanlah karyawan yang tepat untuk Anda, dan tidak usah mengkhawatirkan hal itu.

Jangan membawa uang kembali dalam pembahasan

Jangan memberi bonus atau menggaji seseorang untuk kerja lembur maupun kerja di akhir pekan. Sebaiknya memberikan insentif atas kerja keras karyawan dengan metode lain seperti pujian, traktiran makan siang atau pesta karyawan, atau meniadakan kritik dan koreksi. Beginilah Pozin memotivasi karyawan lebih dari apa yang uang mampu lakukan.

Anda juga sepakat dengan Pozin?

Siapa Yang Terpenting Dalam Organisasi?

Standar

Sungguh saya merasa: saya adalah orang yang suka telat mikir. Beberapa pertanyaan yang pernah diajukan orang lain, dan tidak berhasil saya jawab, membuat pertanyaan-pertanyaan itu tetap ada di memori. Dan ketika sedang senggang, saya keluarkan lagi. Layaknya hewan pemamah biak, saya ‘kunyah-kunyah’ lagi pertanyaan itu. Saya coba pikir-pikir lagi apa jawabannya. Ehm, mungkin sebenernya nggak bisa dibilang telmi juga sih. Mungkin memang pertanyaannya bersifat reflektif. Kalau belum pernah merefleksikannya, ya… bagaimana bisa menjawab?

Salah satu pertanyaan yang masih mengganggu saya adalah pertanyaan pada sebuah tes masuk di sebuah perusahaan. Di sana, ada pertanyaan:

Menurut anda, siapa/departemen/bagian apa yang paling penting dalam sebuah organisasi?

Saat itu, karena saya sudah pernah memikirkan hal ini, saya sudah punya jawaban. Saya menjawab dengan mantap:

Dengan asumsi organisasi yang dimaksud adalah perusahaan pada industri X, maka yang terpenting adalah bagian A.

Ketika maju ke tahap selanjutnya: yaitu tahap interview, jawaban saya itu dilihat oleh sang user dan saya diminta menjelaskan, apa yang saya maksud dengan jawaban saya itu. Maka, saya jelaskanlah bla bla bla bla, sesuai dengan apa yang saya yakini saat itu.

Sepulang dari interview tersebut, rasanya masih ada yang mengganjal. Jawaban saya rasanya benar dan logis… Tapi kok rasanya kurang mantap ya. Kayanya masih ada defect-nya.. Maka saya pun menyimpan pertanyaan itu sebagai salah satu dari pertanyaan most wanted to be answered. Efeknya, pertanyaan itu akan sering muncul di saat-saat bengongdi perjalanan ibukota yang makan waktu.

Akhirnya, setelah melalui berbagai kemacetan ibukota, berbagai waktu senggang di kamar mandi atau beberapa belokan gang bertikus berkecoa, saya menyimpulkan begini:

Yang paling penting dari sebuah organisasi adalah PEMIMPINnya. Pemimpin menentukan visi dari organisasi. Pemimpin adalah penentu, organisasi itu mau dibawa ke mana, akan diisi orang-orang seperti apa, dan mau berada di jalan yang mana. Untuk semua organisasi, pemimpinnya adalah yang terpenting.

Bill Gates

Betapa pentingnya pemimpin pada perusahaan secara cepat dan mudah (atau secara common sense) dapat dilihat dari besar gajinya. Besar gaji atau bagiannya menunjukkan bahwa ia sangat berpengaruh pada keberhasilan perusahaan tersebut. Namun….. pemimpin tanpa pengikut, bukanlah pemimpin (wong nggak ada yang dipimpin). Saya tidak mengatakan bahwa fungsi-fungsi di bahwa pemimpin itu tidak penting, namun saya sedang menjawab pertanyaan: siapa yang TERPENTING.

Saya kasih contoh aja… orang kalau tinggi badannya 180 cm itu tinggi atau pendek? Secara relatif, bisa dikatakan tinggi kan ya. Kalau Andi tingginya 181 cm, Beni 183 cm, dan Dion 187 cm… Siapa yang tinggi? Semua tinggi dong. Siapa yang TERTINGGI? Dion sudah pasti. Hanya ada 1 jawaban untuk pertanyaan superlatif.

Nah, selain pemimpin, di antara fungsi-fungsi manajemen di dalam perusahaan (ini bahasannya loncat ke perusahaan ya, udah ga sekedar organisasi), mana yang paling penting, hayo?

Tergantung! Perusahaan itu bergerak di bidang apa. Core bisnisnya apa. Perusahaan jasa kuliner (restoran dkk) prioritasnya adalah makanan yang lezat. Apanya yang harus bagus? Pertama-tama kokinya. Pelayan, kasir, designer interior, personalia menjadi yang nomor sekian. Sekali lagi, tidak mengatakan mereka tidak penting. Mereka semuanya harus bagus untuk mendukung perusahaan menjadi benar-benar bagus (excellent) di semua sisi. Tapi yang nomor satu, kokinya harus bagus. Makanan yang lezat adalah hal yang terpenting untuk sebuah bisnis kuliner (rumah makan). Hal ini menjawab keheranan orang-orang akan suatu tempat makan yang luar biasa rame, padahal tempatnya tidak berseni (tidak ada design interior), mungkin parkirnya susah, pelayanannya lama, dsb. Orang masih berharap akan satu hal: makanan yang enak. Itu yang paling penting,

Perusahaan jasa relaksasi (spa dkk) harus memiliki terapist yang bagus. Karena core business-nya di situ. Perusahaan jasa IT harus memiliki tim IT yang canggih. Perusahaan manufaktur harus memiliki bagian operation yang sangat handal dan terpercaya. Perusahaan jasa training harus memiliki orang-orang bagian SDM yang terbaik. Begitu polanya…

Yah….. sekarang pertanyaan itu sudah keluar dari kolam most wanted to be answered question. Any comment, my dear reader?

Pemandangan Gunung dan Billboard

Standar

Sekitar satu atau satu setengah tahun yang lalu, saya membaca skripsi Paramitha Suandi, kakak angkatan saya di Manajemen UGM. Skripsinya mencari tahu apakah orang yang tiap hari jalur hilir mudiknya utara-selatan, memiliki keinginan untuk adanya daerah-daerah bebas billboard karena area tersebut memiliki view ke arah gunung.

Waktu saya membaca tentang ide skripsinya itu, saya tidak pernah terpikir sama sekali tentang billboard zoning. Bahkan saya pun baru tahu bahwa di luar negri ada hal semacam itu (ndeso gitu deh). Harusnya, setelah saya membaca tentang itu, awareness saya mengenai isu itu bertambah kan. Harusnya saya jadi lebih kritis dan menyetujui (dalam sikap) adanya billboard zoning tersebut. Toh, ternyata, tidak juga. Waktu membaca saya hanya berpikir “wah, ada ya kaya ginian di luar negri. oke juga idenya”. Dan semua berhenti sampai situ saja. Setiap kali saya melewati perempatan Condong Catur – Ring Road Utara, saya beberapa kali teringat akan hal itu, zona bebas billboard.

Hari Rabu, tanggal 31 Maret 2010 adalah hari yang spesial menurut saya. Hari itu saya senang karena Merapi terlihat sangat jelas ketika saya melewati jalan Affandi (Gejayan). Ah… benar-benar bersih pemandangannya. Tidak ada kabut. Saya langsung berpikir “turis yang datang ke Jogja hari ini sangat beruntung bisa melihat keindahan ini”. Kenapa saya berpikir demikian? Karena beberapa tahun yang lalu saya pernah menemani seorang turis dari Perancis untuk jalan di Jogja selama 2 hari. Saat itu, Merapi terlihat mengeluarkan awan panas, namun kabut membuat pemandangan Merapi kurang jelas. Saya saat itu merasa kecewa karena tidak bisa ‘pamer’ keindahan Merapi.

Ketika melihat Merapi dalam kondisi bebas kabut seperti itu, saya benar-benar merasa senang ketika di jalan. Wow… Efeknya agak luar biasa menurut saya. Dalam hati saya juga berpikir “tinggal di Jogja memang benar-benar menyenangkan. Di Jakarta mana bisa dapat pemandangan kaya gini”. Hahaha, sekali lagi saya ‘narsis’ dengan kota ini. Sebenernya saya juga tahu, Jakarta pun punya daya tarik lain dibanding Jogja. Nggak usah terlalu fanatik lah dengan kota ini. Hehehe.

Ketika saya saya berhenti di perempatan Condong Catur – Ring Road Utara, saya langsung mengeluarkan kamera dan merasa perlu untuk mengabadikan pemandangan Merapi hari itu. Saya pas kedapatan lampu merah, dan bisa mengambil posisi terdepan dari antrian lampu merah itu. Apa yang bisa saya dapatkan? Hanya foto ini.

12:54 WIB

Saya kemudian merasa, perempatan ini perlu dibebaskan dari billboard, kabel telepon, kabel listris, dan hal-hal lain yang mengganggu pemandangan Merapi. Ini aset Sleman untuk mendapatkan kepuasan wisatawan yang lebih tinggi. Pak Bupati… tolong dong, aspirasi rakyat ini didengarkan. Terima kasih, Pak.