Tag Archives: pendidikan

Mengagumi Hal-Hal Kecil

Standar

Banyak orang hebat, banyak bisnis hebat, banyak hal-hal besar yang bisa kita kagumi. Tapi kadangkala, sesuatu harus diapresiasi menurut situasinya.

Pada suatu titik aku bertemu dengan sosok anak muda bernama Agus. Bagiku, sosok seperti ini seperti muncul dari negeri dongeng, negeri yang tak pernah kuketahui sepanjang hidupku. Aku meletakkan namanya secara khusus di dalam hidupku. Bagiku, ia adalah inspirasi. Inspirasi yang hidup, nyata, dan dekat dengan hidupku.

Sumber ilustrasi: http://www.geteyesmart.org

Agus lahir dari keluarga yang tak pernah bersekolah di pedalaman Papua. Karena dibiayai oleh ordo Serikat Jesus (SJ), maka Agus bisa bersekolah gratis hingga jenjang serjana di pulau Jawa.

Satu hal yang membuat Agus ini spesial adalah karena matanya buta satu. Namun dengan hilangnya sebagian pengelihatannya, ia tidak kemudian menjadi permisif untuk menjadi yang tertinggal dan minder. Ia rajin mengikuti perkuliahan, kegiatan kemahasiswaan, kegiatan di gereja, pun kegiatan rohani di lingkungan.

Perjuangan Agus luar biasa untuk bisa sampai di tahap seperti ini. Mengingat bagaimana ia menceritakan kisahnya, mata saya selalu berkaca-kaca. Ketika dulu SMA, ia harus terpisah dari keluarganya dan tinggal di asrama di Nabire. Saat memutuskan untuk kuliah, Agus menghadapi kenyataan bahwa hubungannya dengan keluarga akan semakin jarang. Terakhir ia mendapat telepon dari mereka adalah sekitar Mei 2012. Oktober lalu orang tuanya menelepon di saat yang tidak tepat, saat ia sedang dalam kegiatan, maka terpaksa ia tidak menerima telepon itu.

Saat ini, untuk bisa menelepon Agus, orang tuanya harus berkendara 50 km ke arah kota agar bisa meminjam HP saudara dan mendapatkan sinyal telepon. Tidak ada sinyal telepon di rumah mereka di pedalaman sana. Ketika Agus tidak bisa mengangkat telepon mereka, maka 100 km yang ditempuh hanya menjadi bukti bahwa rindu tak selalu bisa terbayarkan sekalipun kita sudah berusaha.

Dengan perbedaan tingkat pendidikan antara Agus dan orang tuanya, muncullah tembok baru dalam hubungan mereka. Agus tidak bisa menceritakan tentang perkuliahannya ke orang tuanya. Kehidupan yang benar-benar asing dan tak terbayangkan oleh orang tua Agus. Hidupnya, kuliahnya, pelajaran yang ia serap di pulau Jawa adalah miliknya yang sulit dibagi pada orang tuanya.

Saat ini Agus sedang berada di semester akhir pada kuliahnya di jurusan Pendidikan Matematika di suatu universitas di Yogyakarta. Agus ingin menjadi guru dan mengajar di Nabire setelah selesai menjadi sarjana. Ia cukup prihatin dengan rendahnya minat orang-orang untuk menjadi guru di Papua. Saat ini penghidupan lebih layak bisa didapat dengan menjadi PNS, maka banyak guru yang meninggalkan sekolah. Kadang sekolah harus tutup karena tidak ada guru. Keadaan yang sama seperti yang digambarkan dalam film Denias.

Kadang kala, di saat malam, saat bumi menjadi lebih tenang dalam gelapnya, saat aku sudah selesai dengan diriku sendiri, aku memikirkan hal-hal di luar diriku. Kadang kala Agus melintas saja di sana, dengan senyum, dengan ketulusannya dan semangat hidupnya yang menyala di matanya.

Beberapa saat yang lalu, ia melintas, dan untuk Agus, kupersembahkan tulisan ini.

 

Pintar dan Sukses ala Indonesia

Standar

Saat ‘menggelandang’ di stasiun Sudirman tadi malam, saya menonton Kick Andy. Episode yang disponsori Djarum ini diberi judul Demi Prestasi Sang Buah Hati. Talkshow-nya menyorot tentang dukungan orang tua untuk anaknya yang ingin menjadi atlet.

Sebagai orang Indonesia, kita sama-sama tahu. Menjadi atlet bukanlah cita-cita yang lazim.

Cita-cita yang lazim itu jadi dokter, engineer, CEO, manajer, akuntan, guru/dosen, ahli IT, dan PNS.

Jadi penyanyi rock, pesulap, penari, seniman, olahragawan, ahli sastra daerah, ahli sejarah bukan hal yang membanggakan bagi sebagian besar orang tua di Indonesia. Mungkin tidak hanya di Indonesia. Film 3 Idiots memberitahu orang Indonesia, bahwa di India itu pun terjadi. Di Amerika pun setahu saya, ada profesi-profesi yang dianggap lebih tinggi dan terhormat daripada profesi lainnya (misalnya lawyer & wealth/finance manager)

Setelah Herman menonton 3 Idiots (dan saya baru nonton 1 part di Youtube). Dia beberapa kali membawa topik ini ke dalam pembicaraan kami. Maka, bergulirlah pembicaraan tentang hal ini. Tentang menjadi diri sendiri. Tentang mengejar jati diri. Mengejar passion hidup. Tentang ‘aku mau jadi apa’.

Sama seperti pendukung gerakan go green yang terus mendengung-dengungkan supaya orang mulai bergerak aktif mengubah gaya hidupnya kembali mencintai alam. Sama seperti Rene Suhardono yang terus mendengungkan agar orang menyadari bahwa orang perlu menemukan passion hidup dan mengejarnya sampai mati. Sama seperti Yoris Sebastian yang memiliki keyakinan happynomics dan meyakinkan pemuda-pemuda untuk bekerja dengan happy. Saya dengan post ini ingin menyambung semangat ini. Mengangkat tema ini supaya semakin banyak orang diteguhkan, bahwa orang pintar adalah orang yang mengenal dirinya dan memilih jalan yang sesuai dengan bakat dan kesenangannya.

Tuhan menciptakan manusia begitu beragam. Orang memiliki hobi yang berbeda-beda, bakat yang berbeda-beda. Untuk apa? Untuk menciptakan dunia yang utuh dengan segala bagian-bagiannya. Manusia hanyalah satu bagian dari sekian milyar* komponen alam. Seorang manusia juga hanya memegang 1 bagian dari tugas semua manusia. Mengapa harus menjadi pintar dan sukses dengan ukuran yang bukan dibuat untuk anda?

Di Indonesia, orang yang disebut pintar itu terbatas pada yang jago eksak (exact science).

Kalau di tingkat sekolah menengah atas (SMA), yang pintar adalah yang masuk ke kelas IPA. Anak IPS konotasinya adalah buangan, apalagi kelas Bahasa. Hal itu membuat orang Indonesia secara tidak sadar, menempatkan kemampuan eksak sebagai indikator dari predikat PINTAR. Saya ingin bertanya, apakah hal itu fair? Anak yang pintar menari seperti Brandon ‘Indonesia Mencari Bakat (IMB), andaikan dia ngitungnya lemot, terus dia nggak boleh dibilang sebagai anak pintar? Joe Sandy dari acara pencarian magician berbakat, The Master dibilang pintar karena dia jago menghitung. Perhatikan hal ini. Kata pintar menjadi identik dengan kemampuan menghitung dan logika. Betapa miskinnya kata itu.

Brandon IMB

Fakultas Kedokteran dan Teknik juga merupakan yang favorit di Indonesia. Mengapa? Karena pride. Orang pintar akan berebut masuk ke fakultas-fakultas tersebut. Berhasil masuk dan lulus dengan predikat cum laude dari fakultas itu, orang tua dijamin akan bangga. Kebanggan orang tua (yang tidak moderat) menjadi begitu terbatas. Mengapa nggak bisa bangga kalau anaknya jago balap motor seperti Doni Tata dan jago nge-rock seperti Ahmad Dhani?

Setahu saya, semua org ingin menjadi pribadi yang unik. Tapi anehnya, mereka ingin dinilai pintar dengan parameter yang sama: jago logika, jago ngitung. Juga mau diukur kesuksesannya dengan indikator yang sama: kesuksesan finansial.

(Aurelia Claresta – 14 September 2010 10:17 – bus Trans Jakarta, halte Bank Indonesia)

Kenapa orang tua bisa bangga kalau anaknya jadi dokter yang lulus cum laude yang tidak bahagia karena lebih suka mengutak-atik komponen elektronik? Bukankan ini adalah sesuatu yang salah?

Tokoh Keenan dalam buku Perahu Kertas-nya Dewi ‘Dee’ Lestari adalah contoh dari anak yang bisa dapat nilai terbaik di Fakultas Ekonomi namun jiwanya hidup di kegiatan melukis. Memang Keenan adalah tokoh fiksi. Namun, saya yakin, tidak sedikit Keenan-Keenan lain di Indonesia, yang tidak bisa memilih jalan hidupnya, tapi dipilihkan orang tuanya. Orang tua seperti itu adalah pembunuh. Pembunuh ‘semangat hidup’ dari diri anaknya. Tapi biasanya mereka merasa melakukan hal itu demi kebaikan si anak. Demi kesuksesannya. Sekali lagi, SUKSES diukur dengan hal yang tidak tepat: kemapanan secara finansial.

Seniman miskin saya rasa akan lebih bahagia daripada direktur kaya yang terkungkung pekerjaan di kantor padahal jiwanya ada di tempat lain. Toh “manusia tidak hanya hidup dari roti saja”, kan? Seringkali ada masa dimana makanan bagi jiwa itu lebih penting daripada makanan bagi tubuh.

Kesuksesan hidup seseorang bukan ditentukan seberapa banyak uang yang ia dapat, seberapa tinggi jabatannya, seberapa famous kenalan-kenalan dan rekan kerjanya. Kesuksesan hidup menurut saya, terjadi ketika orang itu berhasil menunjukkan karyanya, yang terjadi karena ia begitu mencintai dan memperjuangkan apa yang ia kerjakan. Kecintaan dan perjuangan itu akan membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Penemuan-penemuan luar biasa di abad ini, lahir dari orang-orang yang mencintai apa yang ia lakukan (baca: kerjakan).

Nugie

Mia Thermopolis, tokoh dalam serial The Princess Diaries di masa remajanya akhirnya menemukan dirinya sebenarnya memiliki bakat, yaitu bakat menulis. Awalnya dia merasa dirinya biasa-biasa saja dan tidak berbakat. Semua orang pintar dengan caranya sendiri-sendiri. Dan semua orang bisa sukses jika ia mengikuti Lentera Jiwanya.

Sebagai penutup, bagi yang belum pernah, saya ingin anda melihat video klip Lentera Jiwa dari Nugie (saran saya, nontonnya full screen aja).

Kalau masih kurang, ini saya punya link video 1 lagi.

catatan: *sebenarnya penggunaan kata milyar ini tidak tepat, cuma kalau saya pake istilah kuadriliun dan kuantiliun nanti yang baca mabok.

Belajar dari Anne Avantie

Standar

Anda kenal Anne Avantie? Saya rasa, nama Anne Avantie cukup terkenal di Indonesia karena karya-karya kebaya modernnya yang indah, mewah, dan menawan. Saya yakin, hampir semua orang mengagumi karya-karya kebaya beliau.

Sekarang saya ingin anda bayangkan, orang sehebat dan seberbakat Anne Avantie, punya basic pendidikan apa? Sekolah mode mahal dan terkenal? Murid designer terkenal Indonesia? Lulusan bersertifikat dari luar negri? Semuanya salah. Anne Avantie memiliki masa lalu yang sulit secara finansial. Ia adalah lulusan SMA. Ketika lulus SMA, dia tidak bisa membuat pola, memotong, dan menjahit.

Kebaya karya Anne Avantie

Bisa membayangkan Anne Avantie remaja menjadi seperti designer yang sangat sukses seperti saat ini dengan basic pendidikannya dan keterbatasannya pada dunia jahit menjahit? Rasanya agak sulit, kan.

Bagaimana jika membayangkan Anne Avantie melamar untuk menjadi murid atau karyawan pada designer yang sudah kondang. Bagaimana ia harus memberikan persuasi bahwa ia adalah orang yang baik untuk dipilih sebagai murid atau karyawan? Anne remaja harus bilang apa, supaya sang designer kondang percaya? Akankah diterima? Ehem… (garuk-garuk kepala)… Entahlah. Rasanya agak nggak mungkin juga.

Kebaya yang sama, tampak depan

Hahaha, berandai-andainya sudah dulu. Intinya saya ingin mengatakan bahwa kadang-kadang, kita merasa berada di posisi yang sulit. Tidak banyak jalan yang bisa kita pilih. Banyak keterbatasan kita yang menyebabkan kita tidak mungkin melalui jalan A, memiliki peluang sangat kecil kalau lewat jalan B, sehingga terpaksa lewat di jalan C yang nampaknya nggak begitu meyakinkan. Nggak meyakinkan untuk membawa kita ke tujuan yang diharapkan.

Namun di titik itu, kita harus menerima keadaan, berjuang lebih keras dari mereka yang memiliki jalan lebih baik, dan lebih tekun dalam berusaha. Sisanya adalah keberserahan kepada Tuhan, karena kesombongan akan meruntuhkan semua hal baik. Siapa yang benar-benar berusaha, akan menuai apa yang sudah ditanamnya. Apa yang lebih mudah dari berpasrah kepada Tuhan? Semuanya akan ringan.

Pendidikan Mematikan Kreativitas

Standar

Sebuah momen telah membuat saya tergelitik lagi untuk terus menambah wawasan saya. Sungguh, saya kira saya bisa sangat frustasi kalau wawasan saya tidak berkembang seiring dengan bertambahnya umur. Mengapa?

Hidup akan berhenti di suatu titik ketika seseorang berhenti belajar.

Terdengar seperti kutipan dari seseorang? Entahlah, saya hanya menulis apa yang saya pikirkan.

Ken Robinson

Dalam rangka itu (baca: menambah wawasan) saya membuka situs TED: Ideas Worth Spreading yang saya ketahui dari seorang teman. TED adalah singkatan dari Technology, Entertaiment, Design. Ribuan ide orang-orang luar biasa didokumentasikan dalam video dan dibagikan melalui TEDTalks.

Saya memilih menontoh salah satu video dari Sir Ken Robinson. Judul videonya adalah “Ken Robinson says schools kill creativity”. Ia adalah orang Inggris yang memiliki minat pada pendidikan, menjadi dosen di University of Warwick selama 12 tahun, dan seumur hidupnya didedikasikan untuk menyerukan bahwa sekolah-sekolah di dunia telah menciptakan manusia-manusia yang kehilangan kreativitasnya.

Our education system has mined our minds in the way that we strip-mine th earth: for a particular comodity. We have to rethink the fundamental principles on which we’re educating our children – Ken Robinson

Di sekolah, doktrin-doktrin dan peraturan telah membuat anak takut untuk melakukan kesalahan (curcol: as i was and i am now). Ya… Saya rasa beliau sangat benar dalam hal ini. Ketika kita takut untuk berbuat sesuatu yang di luar kebiasaan, di luar teori, di luar akal sehat, dsb… Maka kreativitas kita terbunuh sebelum lahir.

If you’re not prepared to be wrong. You’ll never come up with anything original – Ken Robinson

Masih banyak hal di dunia ini yang salah. termasuk sistem pendidikan yang sudah di-develop sekian ratus tahun. Manusia sedang membunuh kehidupan itu sendiri.

If all the insects were to disappear from the earth within 50 years, all life on earth would end. If all human beings disappeared from the earth within 50 years, all forms of life would flourish – Jonas Salk