Monthly Archives: Februari 2008

Sandra Dewi

Standar

Cewek yang satu ini kayanya memang lagi laris jadi idola banyak orang. Mengapa? Karena di Yahoo Messenger, saya sudah melihat untuk ke-2 kalinya, temen saya yang cowok memajang gambar cewek kelahiran Bangka, 8 Agustus 1983 itu.

Akhirnya di YM saya pasang kalimat berikut sebagai status message saya:

“buset… sandra dewi jadi idola semua cowo y skarang???”

Dan sebagai reaksinya, ada 5 cowok dan 2 cewek yang berkomentar. Sudah bisa ditebak, yang cowok pasti meng’iya’kan dan yang cewek membahas ke’jelek’an Sandra Dewi. Kelima cowok itu stuju banget dengan pendapatku [termasuk my honey sweety Widy]… Ya..ya..ya…….. Fiuh…. Demikianlah kebenaran. Hahaha, tak dapat disangkal 😀

Sandra Dewi memang cantik. Komentar saya: untung saya tidak secantik dia, kalau iya, pusing kali saya.. banyak fans saya rasa tidak enak. Hahahaha….. Fans bukan teman. Mereka cuma mengagumi tanpa mendukung secara moril karena alasan ‘kita juga manusia’… Apalagi fans itu banyak yang emosional. Hahaha…

Sudahlah, pembicaraan kita akhiri dengan melihat foto cewek cantik ini saja.

sandra-dewi.jpg

Saya Bersyukur

Standar

Saya ingin bersyukur….

Untuk kesehatan yang luar biasa. Kelengkapan anggota badan yang sungguh berharga. Usia yang masih muda. Keluarga yang penih cinta. Teman-teman yang baik & ramah. Tempat tinggal yang aman. Tetangga yang baik. Orang-orang yang memperhatikan dalam hal-hal terkecil. Adik yang penyayang dan lucu. Kekasih yang lucu dan terbaik untukku. Dosen yang luar biasa. Kampus yang tidak pernah kuharapkan tapi sangat-sangat membentukku. Papa yang sudah meninggal tapi tetap bisa kukenang, juga rajin datang ke mimpiku. Semua… Semua yang terindah di atas bumi ini dan pernah kurasakan. Aku hendak bersyukur atasnya…

Terima kasihku yang tak kunjung habis untuk Sang Pencipta,

aurelia claresta utomo [namaku]

1st experience dgn ATM setoran tunai

Standar

Hahaha… salah satu sejarah dalam kekatro’an saya.. Pagi tadi, sekitar jam 09.20 saya melepas salah satu label katro dalam hidup saya. Saya sudah bisa menggunakan ATM setoran tunai sekarang. Hahahaha…. Lucu juga. Dengan dibantu seorang satpam yang ramah, saya menyetorkan uang tunai melalui ATM setoran tunai… (buset..gwe lebih katro dibanding satpam, hahahaha) Semua berjalan dengan baik. Satpam pun tidak menertawakan saya yang kaya orang kampung masuk kota. Hehehehe… Bayangkan, bahkan saya sempat bingung, gimana caranya memasukkan kartu ATM, alias… saya tidak tahu slot lubang untuk memasukkan kartunya… tolol abis…. Hahahaha

Ternyata, nyetor tunai by ATM itu gampang, tinggal siapkan uangnya dalam kondisi tidak terstaples/terkareti, tidak terlipat, tidak sobek, tidak lecek, dan tertumpuk rapi. Oh iya, uangnya bisa dalam pecahan 20 ribu rupiah s/d 100 ribu rupiah. Pecahan uang yang berbeda bisa disetorkan bersamaan, asal tidak melebihi 50 lembar.

Selanjutnya masukkan kartu ATM, dan ikuti prosedur di layar dengan hati-hati. Kalau mau setor ke rekening sendiri, tidak udah mengetik nomor rekening, tapi kalau mau setor ke orang lain ya harus ketik nomor rekening tujuan.

Kalau ada uang yang tidak diterima, ulangi saja prosedurnya, mungkin bisa. Kalau tidak bisa, ya mungkin uangnya terlalu jelek/cacat atau malah palsu. Hehehee… Hari gene baru nyetor tunai by ATM?? Ya gue ini… Hahahahah

Ullen Sentalu & Beukenhof

Standar

update post Nov 2012

Kemarin siang, teman kerja satu lorong saya rapat dan sekalian makan siang di Beukenhof. Katanya mereka, itu tempat makan yang private dan sangat romantis. Mungkin yang paling indah di Jogja, karena katanya Gadjah Wong kalah bagus/romantis. Jadi ingin ke sana. Sayangnya hambatannya adalah kocek. Kira-kira 1 orang siapkan Rp100-150 ribu deh kalo mau makan di sana. Begitu pesan teman saya. Oya, yang sangat berkesan di sana adalah hot chocholate-nya, kata teman saya lagi.

Ullen Sentalu adalah museum. Fee untuk masuk ke situ Rp25 ribu untuk adult dan Rp15 ribu buat student. Seperti biasa, museum di Indonesia pasti kelam suasananya 🙂 Hehehehe…. Tipikal. Beukenhof terletak didekat Ullen Sentalu katanya.

Ada yang mau ajak saya makan di Beukenhof? Hehehe….

Malas

Standar

Kata Mama aku malas.

Ah, yang bener, masa sih, aku malas. Aku nggak malas kok. Cuma moody…

Mengakui kalau diri kita jelek itu susah ya… 😦 Menerima dikatain orang juga sulit. Cuma, ya diterima aja… Jangan jadi jahat sama yang peduli dengan kita. Mungkin dia mau kita menjadi lebih baik. 🙂

[tulisan diawali dengan muka cemberut. tulisan diakhiri dengan muka tersenyum]

lazydalpha.gif

Psikolog, Psikiater, Etika, Etiket ……

Standar

Pertemuan pertama kuliah Psikologi Dasar. Seorang lelaki dari arah belakang (saya memang duduk di barisan paling depan) bertanya… “Apa bedanya psikolog dengan psikiater, Bu?” Waduh…. Ini dia… Saya juga lupa, kapan saya mengetahui perbedaan kedua profesi itu (maksudnya untuk mengira-ira, apa saya pantes ngetawain dia, atau sebenernya ini wajar aja).

Tentu psikolog dengan psikiater berbeda. Karena saya tidak kuliah baik di fakultas psikologi maupun kedokteran, ya saya hanya mengingat perbedaannya begini:

Psikolog itu basic-nya psikologi. Jadi, lebih melayani curhat, konsultasi masalah, dsb. Nah, kalau psikiater itu aslinya dokter. Jadi, psikiater bisa memberikan obat penenang anti depressan dan sebagainya, sedangkan psikolog tidak.

Saya jadi ingat satu hal lagi. Tentang etika dan etiket. Kadang-kadang saya geli juga kalau menemukan orang menggunakan satu kata yang tidak tepat. Karena kata etika lebih populer, kadang-kadang orang menggunakannya untuk mengatakan sesuatu yang harusnya disebut etiket. Nah, tentang etika dan etiket ini saya ingat betul. Saya mengetahuinya sekitar kelas 3 SMA.

Gampangnya, etiket itu hubungannya sama sopan santun, tata krama. Kalau pas tidak ada orang lain, nggak masalah kok, mau makan sambil angkat kaki, mau ngupil saat makan. Sedangkan etika berhubungan dengan sesuatu yang hubungannya vertikal (pada Tuhan). Jadi mau ada orang yang lihat atau tidak, sesuatu yang salah tetap tidak seharusnya dilakukan.

Ya… demikianlah

Ketika Menjadi Orang Berbeda

Standar

Kadang kala, kita mendapati lingkungan yang baru kita masuki, tidak nyaman bagi kita. Orang-orangnya seolah-olah memiliki pemikiran atau tingkah laku yang jauuh dari kehidupan kita yang biasanya. Apa yang kita lakukan, kok tampaknya nggak tepat kalo dinilai oleh mereka. Apa yang baik menurut kita, tidak baik menurut mereka. Kita merasa mereka kurang modern atau kurang moderat, atau kurang kritis, atau kurang macam-macam jika dibandingkan dengan hidup kita. Akhirnya, kita sampai pada pertanyaan, apakah kita perlu mengubah diri kita. Karena semakin seseorang berbeda dengan lingkungannya, hampir pasti, orang itu akan merasa semakin terbuang, tersingkir… seperti pesakitan lepra.

Dalam kondisi demikian, kita memiliki pilihan. Mau mengubah kebiasaan, sifat, sikap menjadi seperti para ‘tetangga’ -baik di lingkungan rumah, kantor, sekolah, kampus, atau mana pun- atau mau tetap ‘menjadi diri sendiri’ dan keluar dari lingkungan itu Jangan sampai tekanan batin atas permasalahan ‘perbedaan’ tersebut mengganggu kita secara psikis. Kita harus cepat memutuskan, mau pilih yang mana.

Menurut saya, ada beberapa hal yang harus dipertimbangkan untuk memastikan, mana yang harus kita pilih. Pertama, apakah dengan menyesuaikan diri menjadi seperti mereka, kita kemudian diterima & jadi masuk ‘zona nyaman’? Hal kedua yang harus dievaluasi adalah: apakah setelah kita berubah menjadi ‘mirip dengan lingkungan’ ada banyak hal yang harus kita korbankan, misalnya privasi, kemerdekaan berpendapat, kelebihan-kelebihan yang tidak bisa ditunjukkan lagi (atau malah pelan-pelan luntur dan menghilang), dll? Kalau jawabannya ya, maka kita harus pertimbangkan lagi, apakah tidak lebih baik kalau kita pindah ke lingkungan yang lain saja. Mungkin saja di lingkungan yang baru kelak malah kita dapat menemukan lingkungan yang lebih kondusif bagi kita agar dapat hidup lebih nyaman. Siapa tahu dengan menemukan teman-teman dan lingkungan yang baru, kelebihan kita bisa lebih terekspor dan berkembang.

Salam…