Monthly Archives: Maret 2014

Wisata @ Jogja [4]: Oyo River Body Rafting

Standar

Ini adalah cerita lanjutan dari post Wisata @ Jogja [3]: Pantai Goa Watu Lawang. Kunjungan saya adalah pada 26 Januari 2013 yang lalu.

Setelah makan siang di warung padang dengan menu ikan kuah santan kuning (opor?), maka energi sudah terisi untuk perjalanan selanjutnya.

P1000430

Titik keberangkatan menuju sungai Oyo (sebelum naik ke Jeep).

Wisata Goa Pindul terletak di desa Bejiharjo. Tempat wisata ini cukup terkenal di lingkup nasional. Nah, sangking terkenal dan ramainya, terjadi sengketa (perebutan wilayah dan pengunjung). Di sana ada 3 provider rafting. Saya kebetulan sampai di pos parkir provider Dewa Bejo. Di mana ada mata pencaharian, di situ ada perebutan wilayah.

Pendek cerita. Ada 3 pilihan: Body Rafting di sungai Oyo, wisata Goa Glatik, dan Goa Pindul. Kami mencoba rafting di sungai Oyo terlebih dahulu karena menurut rekomendasi dari pemandu wisata dari Dewa Bejo. Katanya lebih menantang karena debit air lebih deras.

P1000436

Sebelum nyemplung ke sungai Oyo. Pak pemandunya rajin sekali menyuruh kami berfoto.

Kami pun menaiki Jeep melewati jalan offroad menuju lokasi awal body rafting. Apa bedanya body rafting dengan rafting? Body rafting ini kami hanya duduk di atas ban dalam truk, sedangkan rafting sendiri biasanya menggunakan perahu karet.

P1000439

Saling memegang strap ban sebelahnya. Pemandu ada di paling depan dan paling belakang.

 

Air sungai Oyo berwarna keruh, namun tidak bau seperti yang pernah saya alami ketika rafting di Sungai Elo, Magelang akhir tahun 2009. Di kiri kanan, pemandangan tidak terlalu indah, kadang ada sampah kantong plastik yang tersangkut di pohon bambu tumbang di pinggir sungai.

P1000469

Photo Courtesy: Aurelia Claresta Utomo
(Camera Peter R)

 

Sampai di tengah perjalanan, kami dihentikan di suatu tempat yang memiliki air terjun kecil. Mungkin sekitar 4-5 meter saja. Banyak orang mencoba melompat dari papan kayu yang dibuat khusus untuk melompat. Saya tidak mau mencoba. Takut kenapa-kenapa. Saya mau liburan, nggak mau cedera. Hehehe.

Di perhentian itu, ada orang yang menyediakan gorengan dan minuman. Karena baju dan pakaian kami 100% basah, tidak ada kemungkinan kami membawa uang, oleh karena itu pembayaran bisa dilakukan setelah sampai tujuan. Nampaknya pembayaran dengan sistem kepercayaan saja (tentang apa yang dimakan di pemberhentian).

Tak lama, kami sampai (sebutlah hilir sungai) dan kembali ke pos dengan menggunakan Jeep untuk mengambil paket wisata Cave Tubing Pindul.

Wisata @ Jogja [3]: Pantai Goa Watu Lawang

Standar

Beberapa waktu yang lalu dua orang teman mengabarkan kepada saya bahwa mereka (masing-masing tidak saling mengenal) mendapati tulisan saya tentang salah satu restoran di Jogja di blog ini ketika browsing. Hal ini cukup memberi saya motivasi agar saya menulis artikel ini.

Saya mengakui bahwa ada perjalanan yang belum saya dokumentasikan dalam bentuk tulisan. Fotonya sih ada, makanya bisa membantu saya untuk menulis. Sebagai catatan, ini adalah kunjungan saya ke sana pada tanggal 26 Januari 2013. Sudah lama berlalu, namun semoga masih berguna.

P1000418

Petunjuk arah di pohon. Di foto terdapat foto bangunan yang kami lewati menuju pantai.
Photo Courtesy: Aurelia Claresta Utomo (camera Peter R)

Pantai Goa Watu Lawang, ini kali kedua saya ke sana. Pantai ini berada di sisi timur pantai Indrayanti. Dari parkiran mobil di timur Indrayanti, ada jalan ke arah timur, ikuti saja, jalannya agak kecil dan melewati rumah-rumah kecil dan bangunan kosong, persis di sebelah bukit karang, ada belokan ke kanan (selatan).

Tadaaaa… maka sampailah Anda ke Pantai Goa Watu Lawang. Pantai ini saya suka karena bersih dan tidak ada penduduk lokal yang menyewakan payung. Private beach (for free), who can resist?. I can’t.

IMG_3756

Pantai Goa Watu Lawang dan bukit karang di timur pantai. Foto pukul 06:15.
Photo Courtesy: Aurelia Claresta Utomo

Untuk sampai ke sini, saya berkendara dari Paingan, Sleman pukul setengah 4 pagi. Alhasil, sampai pantai pun sudah agak terang, masih pukul 05.16 padahal. Pengennya sih melihat sunrise. Tapi tidak ada sunrise moment pagi itu, cuaca mendung saudara-saudara.

Tapi, ternyata mendung itu bikin asyik. Karena bisa main di pantai tanpa gosong. Horeee…

Nah, rasa penasaran membawa saya untuk menyelidiki, jangan-jangan ada pantai yang lebih indah lagi di sebelah timur. Saya menyusuri pantai yang bersebelahan dengan karang. Di beberapa kesempatan, ombak datang dengan ganasnya. Ketika ombak datang, saya langsung berpegangan dengan dinding karang. Lengah sedikit saja, saya bisa terhempas menabrak dinding karang, dan jatuh ke pantai berbatu yang airnya sepinggang. Tidak akan ada yang nolongin.

DSCN0240

Saya harus melongok melalui dinding karang yang paling menjorok ke laut untuk mengecek apakah ada pantai di timur pantai Goa Watu Lawang. Photo Courtesy: Christian Arif Budiman

Ternyata, setelah berhasil melongok, tidak ada pantai yang bisa dimasuki dari arah utara maupun selatan (menyusur seperti saya). Pantainya terlalu sempit dan belakangnya ada dinding karang. Tidak bisa diduduki sama sekali.

Nah, pasir di Pantai Goa Watu Lawang ini memiliki beberapa bentuk. Ada yang bundar-bundar, serpihan tajam (pecahan kulit kerang), dan ada yang seperti gula palem (palm sugar). Sayangnya, pantai ini belum dibersihkan dari karang-karang kecil (kalau di Bali kan pantainya dibersihkan sama pengelola resort/hotel).

Pukul 07:34 kami beranjak mandi di Kamar Mandi umum dan mencari sarapan. Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu warung nasi padang (cukup recommended, mengingat di sekitarnya hanya menjual bakso dan mie ayam atau malah belum buka) di dekat Pom Bensin dalam perjalanan ke arah Goa Pindul. Selamat makaan… Laperr euy…

Kerja di Jogja Gaji Jakarta

Standar

Tidak hanya sekali saya mendengar ada teman yang berharap bisa mendapatkan pekerjaan di Jogja dengan gaji Jakarta. Gaji Jakarta hanyalah istilah untuk menyebutkan gaji dengan standar kota metropolitan, bukan kota kecil. Teman lelaki, teman perempuan, saya pernah mendengar dari keduanya.

Ada sedikit teman dan kenalan (bisa diitung pakai jari di satu tangan) yang sangat beruntung karena pekerjaannya ditempatkan di Jogja dengan gaji yang sama dengan gaji yang diterimanya ketika masih di Jakarta. Ya, mereka sudah pernah ditempatkan di Jakarta sebelumnya.

Ada lagi teman yang bekerja di perusahaan minyak/tambang yang bilang, “Kalau ada kerjaan di Jogja dengan gaji di site, wah… pasti saya ambil.” Saya cuma senyum-senyum saja mendengarnya. Itu sih banyak orang juga mau. Hehehe.

Nah, kerja apa sih di Jogja biar bisa dapat gaji Jakarta?

Dari beberapa kenalan saya, tidak ada yang mendapat gaji Jakarta dan penempatan Jogja secara langsung. Mereka setidaknya pernah bekerja di Jakarta atau daerah lain (terutama di luar Pulau Jawa). Ada yang sebagai auditor internal, banker, dan sales manager. Jadi, menurut saya, untuk para pekerja/pencari kerja yang berharap mendapat gaji besar namun ditempatkan di Jogja, carilah kesempatan itu melalui perusahaan yang prospektif dan mulailah cari di luar Jogja, terutama cari yang memiliki kantor cabang di Jogja.

Menurut seorang karyawan perusahaan nasional, di perusahaannya, wilayah Jawa Tengah & Yogyakarta hanya bisa ditempati oleh orang yang paling berprestasi/paling lama mengabdi di perusahaan tersebut. Karena Jogja Jateng adalah wilayah idaman.

Beberapa freelancer (senior) di bidang IT/desain bisa mendapatkan gaji yang besar jika sudah pernah mengerjakan proyek dari luar negeri/perusahaan nasional & global.

Saya rasa itu yang saya tahu tentang bekerja di Jogja dengan ‘gaji Jakarta’. Jika ingin memiliki pemasukan yang tinggi dengan aktivitas yang relatif santai, sebaiknya menjadi konsultan, pembicara, business owner (tanpa menjadi manager) atau investor.

Selamat mencari cara merasakan bekerja di Jogja dengan gaji Jakarta… Good luck.

Mewujudkan Doa Ibu

Standar

Doa setiap Ibu dan Ayah atas anaknya yang baru lahir pada umumnya ada 3 hal, yaitu

Nak, jadilah anak yang sehat, saleh, dan berguna bagi bangsa. Amin

Ketika seorang anak sudah tumbuh dewasa dengan sehat, menjadi anak yang saleh, sudah selesai masa kuliahnya, maka saatnya berkarya telah tiba. Itu lah saat mewujudkan hal ketiga dalam doa orang tua: berguna bagi bangsa.

mothers prayer

Photo Courtesy: wabisabimama.com

Hal nomor tiga ini adalah PR saya yang terbesar saat ini. Tidak akan selesai sampai saya wafat nanti. Menjadi orang yang berguna. Bagi saya, doa ini adalah harapan yang sudah tersandang di pundak, dan harus saya perjuangkan.

Hidup memang hanya 1 kali. Tapi prinsip YOLO (you only live once) yang membuat orang mau memerdekakan dirinya dengan cara bebas melakukan apapun yang diinginkan tanpa mau dilarang, bukanlah prinsip yang sejalan dengan amanat orang tua saya.

Amanat itu mungkin pernah disampaikan secara lisan, atau bahkan mungkin hanya dengan cara tersirat dalam ajaran moral dalam keluarga. Tapi amanat itu terasa sangat berpengaruh dalam hidup saya. Amanat itu juga pastinya diselipkan oleh para guru, para dosen, para pemuka agama, dan pemberi beasiswa. Hidup saya sudah dibayar di muka. Dalam hidup saya berhutang segalanya, maka sudah sepatutnya saya mengabdikan diri.

Pernyataan di atas bukanlah pernyataan yang terpaksa, namun karena kesadaran. Saya merasa beruntung karena saya sadar. Saya sungguh dengan sadar dan rela hati ingin menyandang harapan tersebut. Itulah bentuk pertanggungjawaban saya atas hidup saya yang cuma-cuma dan penuh belas kasih Tuhan dan (belas kasih Tuhan melalui) orang lain.

Hingga saat ini saya sudah bekerja dan berkarya selama 3,5 tahun. Ada nilai-nilai yang ingin saya perjuangkan dalam karya dan pekerjaan saya. Ada kontribusi terhadap karyawan dan komunitas yang ingin saya bagikan. Ada idealisme yang ingin saya pertahankan hingga esok hari.

Berkontribusi melalui dunia kerja adalah cara saya menjawab doa Ibu, doa keluarga, dan doa para pendidik saya.

Demikian juga saya mendukung pasangan saya untuk berkarya maksimal dengan pekerjaan dan studinya, karena saya paham benar bahwa tujuannya sungguh murni dan mulia.

Doakan kami, agar karya kami terus terakumulasi, terus bergulir, dan terus menerus bertahan untuk tujuan yang mulia dan murni.

Sulitnya Menemukan Ide Tulisan

Standar

Dalam tulisan ini saya ingin menulis tentang MENULIS. Bukan kegiatan menorehkan grafit/tinta ke kertas, namun kegiatan merangkai sebuah ide menjadi sebuah TULISAN.

blank writer

Photo Courtesy: fateddesires.com

Sejak SD saya menyadari bahwa saya cukup bisa menulis. Seperti biasa, kepercayaan diri muncul karena melihat banyak orang yang berusaha dan kesulitan dan saya cukup bisa menyelesaikannya tanpa terlalu kesulitan. Anggaplah saya berbakat.

(Catatan: kata berbakat saya pakai bukan untuk menyombongkan diri, tapi justru menunjukkan saya tidak berusaha keras untuk memilikinya tapi mendapatkannya dengan cuma-cuma. Gratisan. Apanya yang dibanggakan? Sama seperti kaya karena warisan. Apanya yang dibanggakan? Hanya bisa disyukuri tapi tidak dibanggakan.)

Apakah saya pernah mengalami keadaan yang sama dengan sebagian orang yang kebingungan di kelas bahasa? Pernahkah saya merasa BLANK atau tidak-tahu-harus-menulis-apa? Pernah. Tentu saja pernah.

Bahkan persis sebelum menulis artikel ini, ketika melihat space kosong yang tersedia di WordPress, saya merasa BLANK. Apa yang harus saya tulis?

Mengapa kita bisa mengalami BLANK? Menurut saya karena Tidak Memiliki Opini/Ide untuk Disampaikan

Mengapa orang bisa tidak-memiliki-opini/ide untuk ditulis?

1. Dengan tidak adanya ide yang masuk, kemungkinan ide yang keluar pun (sangat) sedikit. Hal ini normal.

Saran: berbicara dengan orang baru tentang hal baru, membaca/mendengarkan/menonton siaran apapun yang bersifat informatif. Melihat-lihat hal yang baru (misalnya dalam liburan/travelling) juga sangat berguna.

Pengalaman saya: saya suka membaca majalah Bobo sejak kelas 1 SD. Ketika membaca cerita, saya kemudian terbiasa dengan bagaimana sebuah kisah dituturkan. Jika sering terpapar pada bacaan, maka menulis pun bisa menjadi lebih mudah.

2. Kurangnya rasa penasaran. Ada orang yang secara natural maupun kultural memiliki rasa penasaran yang rendah.

Saran: Ketika ada sesuatu yang baru dan tidak Anda pahami, simpanlah dalam memori Anda bahwa suatu saat Anda perlu mengetahui hal itu, dan perlu mencari tahu tentang itu.

Pengalaman saya: ketika menemui pertanyaan MENGAPA dalam hidup sehari-hari, saya sering berusaha menjawabnya di saat-saat teringat akan pertanyaan tersebut, terutama di ketenangan.

3. Tidak terbiasa mengembangkan ide dari hal sederhana. Dalam rutinitas yang tidak menginspirasi dan kekurangan inovasi, memang sulit mendapatkan ide. Namun orang yang peka bisa menangkap hal menarik dalam keseharian yang sederhana dan dijadikan bahan tulisan.

Saran: hal-hal di sekitar kita memang nampak biasa karena sudah setiap hari dilihat mata. Dalam jurnalistik ada pertanyaan 5W1H (what, when, where, who, why, how) atau (apa, kapan, di mana, siapa, bagaimana, dan mengapa) yang bisa membantu mengembangkan tulisan. Pertanyakan aspek-aspek dari suatu hal, pembahasannya bisa panjang juga, kok.

Menurut saya demikian. Bagaimana menurut Anda?

Ranu Kumbolo: 9 Pelajaran untuk Pendaki Amatir (Bag 2)

Standar

sambungan Ranu Kumbolo: 9 Pelajaran untuk Pendaki Amatir (Bag 1)

5. Terlalu Awal untuk Tidur

Saya tidak ingat apakah ada larangan membuat api unggun di Ranu Kumbolo. Seingat saya ada. Logikanya, bisa merusak keasrian daerah sekita. Dengan tiadanya api unggun, apalagi jika hujan, maka mati gaya adalah kepastian dari manusia modern. HP mati, badan lelah, gelap, maka tidur bisa dilakukan pada pukul 7-8 malam setelah berbincang-bincang dengan rekan seperjalanan/ kenalan baru dari tenda sebelah. Dengan kondisi gelap, menginap di Ranu Kumbolo/Ranu Pani rasanya sama saja.

Bedanya adalah: ketika menginap di Ranu Kumbolo, jika langit cerah, bintangnya cantik sekali. Sayangnya, dinginnya angin pun tidak membiarkan saya bisa memandang langit berlama-lama  

6. Foto dan Kenangan

Ngos-ngosan adalah nafas-yang-biasa ketika mendaki. Jadi, ketika ada jalanan menurun itu bagaikan bonus berharga, karena hampir setiap saat saya merasakan kehabisan-nafas. Amatir dan boros nafas. I’m very bad at doing long-run/marathon. I’d prefer doing sprint.

Tapi, walaupun demikian, haruslah menyempatkan diri untuk mengambil foto selama perjalanan barang 1-2 foto. Sempatkan pula melihat tumbuhan yang tumbuh di kiri-kanan. Tidak semua bisa dilihat di luar hutan.

7. Problem Buang Hajat

Saya dan 3 rekan pendakian saya tidak ada yang gembira dengan proses dan lokasi buang hajat kami. Yang terparah adalah ketika harus buang hajat di tempat yang terang benderang dan tidak tertutupi (mudah terlihat pendaki/orang lain).

Konon Ranu Kumbolo penuh ranjau kotoran manusia karena banyaknya kebutuhan pendatang yang buang hajat namun tidak bisa mencapai toilet. Untuk itu usahakan untuk membuang hajat di Ranu Pani. bagaimana pun kondisi toiletnya (bahkan tidak ada air di toilet sekalipun lebih baik daripada di semak-semak/lapangan terbuka — misalnya bisa diakali dg mengguyur dg air Aqua)

8. Kegagalan Penghematan

Karena turun dalam kondisi sangat lemah, dan tidak ada rombongan yang turun dalam 1 jam setelah kami, akhirnya kami terpaksa menyewa truk (menuju Tumpang) hanya berisikan tim kami (4 orang). Itu pun tidak nyaman karena jalannya berbatu besar dan off road sekali. Saya tidak bisa bayangkan jika menggunakan mobil jenis Avanza untuk naik/turun ke/menuju Ranu Pani.

9. Kelelahan dan Sakit setelah Pendakian

Kelelahan akibat turun gunung belum selesai. Tidur selama naik truk menuju Tumpang pun rasanya belum cukup. Sampai Tumpang bisa carter angkot tapi ybs syarat tidak ngetem tapi tetap mengambil penumpang. Apesnya: macet banget dan supir sangat ugal2an. Arjosari – hotel dengan angkot carteran pun sama macetnya.

Lelah maksimal dan tepar maksimal. 

Sejak 2010 saya mengidap sinusitis maksilaris (radang rongga sinus di bag pipi). Sinusitis ini akan kambuh terutama ketika kondisi kecapekan dan suhu rendah. Dengan mendaki Semeru, saya mendapatkan combo: keduanya ada,

Sepulang dari turun gunung, jempol kaki saya mati rasa hingga 2 minggu lebih. Adik saya mengalami hal yang sama. Radang kerongkongan saya parah sekali hingga suara saya nyaris hilang selama beberapa hari dan batuk pilek masih menyusahkan hingga seminggu setelahnya.

Teman saya nampaknya mengalami lecet karena gesekan sepatu sendalnya dengan kaki. Gunakan kaos kaki yang cukup tebal supaya tidak lecet.

 

Demikianlah catatan saya sebagai pendaki amatir yang tujuannya menikmati alam dengan level beginner dan masih bersifat kekotaan (jauh dengan cara anak pecinta alam, atau dengan para porter). Semoga ada poin-poin yang bisa diambil dan membantu Anda dalam perencanaan pendakian yang serupa.

Ingat, bawa sampah Anda turun dari Semeru, karena tempat itu terlalu indah untuk dirusak. Masih banyak orang yang ingin menikmati keindahan yang sama seperti yang Anda (akan) pernah saksikan.

Akhir kata, selamat jalan-jalan, yaaa.

Ranu Kumbolo: 9 Pelajaran untuk Pendaki Amatir (Bag 1)

Standar

Juni 2013 yang lalu saya pergi ke Ranu Kumbolo, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru. Sebelum berangkat saya sudah membaca setidaknya 3 blog (terima kasih untuk penulisnya, sangat sangat membantu) mengenai bagaimana cara menuju Ranu Pani, dan perjalanan menuju Puncak Mahameru.

50-IMG_2516

Photo Courtesy: Abdi Christia

Kali ini saya mau menuliskan detail lain yang menjadi pembelajaran saya setelah melakukan pendakian ke Danau Ranu Kumbolo. Semoga berguna, karena inilah hal-hal yang saya pelajari untuk tidak diulangi di masa yang akan datang (saya berniat ke Ranu Kumbolo lagi, jika ada kesempatan).

Singkatnya inilah waktu (dan kendaraan) yang saya butuhkan dari Hotel sampai ke tenda saya di sekitar Danau Ranu Kumbolo dan kembali lagi ke hotel.

Hotel – Terminal Arjosari, Malang (Angkot ?) = 15 menit

Arjosari – Terminal Tumpang (Angkot ?) = 45 menit

Jeda (menunggu ada sesama pendaki di Terminal Tumpang agar biaya Jeep jadi lebih murah) = 2 jam

Tumpang – Ranu Pani (Jeep carteran) = 2 jam

Jeda (lapor ke posko pendakian, makan siang di warung setempat, toilet) = 45 menit

Ranu Pani – Pos 4 Ranu Kumbolo (jalan kaki, sebentar2 berhenti habis nafas, keberatan tas) = 6 jam 15 menit

Jeda (makan, dirikan tenda, istirahat, lipat tenda) = 14 jam

Pos 4 Ranu Kumbolo – Ranu Pani (jalan kaki, kadang separuh berlari ketika turunan) = 4.5 jam

Jeda (makan siang) = 45 menit

Jeda (tunggu pendaki turun gunung u/ sewa truk bersama) = 1 jam

Ranu Pani – Tumpang (truk, kondisi hujan lebat di tengah jalan) = 2 jam 15 menit

Tumpang – Arjosari (carter angkot, macet) = 1,5 jam

Jeda (tunggu angkot menuju hotel di terminal Arjosari) = 45 menit

Arjosari – hotel (carter angkot) = 30 menit

1. Waktu Keberangkatan dan Kepulangan

Kami berangkat dari hotel jam 6 pagi, dan sampai di pos 4 Ranu Kumbolo pukul 6 sore. Itu adalah perjalanan yang panjang dan melelahkan. Kali lain, hal yang ingin saya ubah dalam waktu keberangkatan & kepulangan adalah:

a. Sampai Ranu Pani sesore/selambat mungkin (tergantung jadwal jeep terakhir) dan tidur cukup di Ranu Pani.

b. Mulai mendaki tengah malam agar sampai di Ranu Kumbolo tepat saat langit berubah dari gelap menjadi biru tua. Menikmati Sunrise di Ranu Kumbolo sambil sarapan pagi. Jika ada tenaga lebih bisa mendaki Tanjakan Cinta atau berfoto2 dahulu.

c. Turun dari Ranu Kumbolo pukul 8 pagi. Sampai Ranu Pani pas jam makan siang, bisa makan di warung dekat pos pedakian. Lalu menunggu truk/jeep menuju Tumpang lalu menuju Malang. ATAU menyiapkan kendaraan pribadi (misal: mobil carteran) untuk bermalam di hotel di sekitar Bromo (supaya bisa beristirahat dengan baik) dan menikmati sunrise di Bromo.

2. Barang Bawaan dan Kecepatan Mendaki.

Sebagai pendaki amatir yang tujuannya cuma menikmati keindahan Danau Ranu Kumbolo (dan bukan untuk sampai di puncak Mahameru), dengan timing yang saya rencanakan di atas, maka saya bisa menghemat energi dari berkurangnya beban bawaan, karena dalam pendakian tidak perlu membawa :

a. tenda, terpal, sleeping bag

b. makanan dan minuman untuk dinner 

Hal-hal itu bisa ditinggal di Ranu Pani (perlu dicari tempat penitipan/jeep sewaan yg diparkir di sana u/ taruh barang

3. Menghadapi Hujan di Perjalanan.

Dalam perjalanan saya kehujanan. Untungnya kami membawa jas hujan. Tidak untungnya, kaos kaki dan celana basah parah (dan tidak kami copot segera) sehingga menimbulkan hipotermia.

Ada momen di mana saya dan adik saya menggigil tak tertahankan sehingga mau tidak mau kami harus mengeluarkan kompor dan memanaskan air di bawah guyuran hujan untuk sekedar menyelupkan tangan ke air hangat karena sangking menggigilnya (entahlah kondisi kami bisa disebut hipotermia/ hampir hipotermia).

Saran: jika hujan sebaiknya lepaskan kaos kaki & sarung tangan, ganti jeans dengan celana pendek, karena pakaian basah yg menempel di kulit menyerap panas tubuh lebih cepat dan dapat menimbulkan hipotermia. Jika memungkinkan, tunggulah di pos 1 / 2 / 4 (pos 3 roboh) ketika hujan, jangan berhujan-hujan ria karena pakaian basah akan memberatkan bawaan (dan akan bau).

4. Lokasi Pendirian Tenda

Karena sudah larut senja dan kedinginan parah sehingga butuh ganti pakaian dan makan untuk menghangatkan tubuh, waktu itu saya dan rekan mendirikan tenda persis di depan Pos 4.

42-IMG_2508

Saya dan Adik Saya Austin Advent Utomo. Photo Courtesy: Abdi Christia

Pagi harinya kami mendapatkan pemandangan yang indah untuk berfoto. Karena berada (jauh) lebih tinggi daripada danau, pemandangan danau lebih menyeluruh dan indah.

Ketika sudah pulang dan mengamati foto-foto, saya baru menyadari bahwa posisi Pos 4 adalah salah satu lokasi yang terbaik untuk berfoto di Ranu Kumbolo. Saya sebelum berangkat browsing foto-foto Ranu Kumbolo, dan foto terindah yang saya gunakan sebagai profile picture grup Whatsapp tim kami adalah foto yang diambil dari posisi Pos 4.