Tag Archives: mimpi

Kampus di malam hari (monolog Aurelia)

Standar

Dan aku di sini. Masih bermimpi tentang perpustakaan itu, di mana aku masih bisa belajar dan bekerja di sana sampai malam hari. Perpustakaan yang hanya pernah aku dengar kabarnya dari cerita dosenku di suatu pagi. Konon katanya perpustakaan itu buka 24 jam….

Oh, andaikan saja kampusku memiliki perpustakaan seperti itu. Atau setidaknya membuka hall, lobby, selasarnya 24 jam untuk mahasiswa yang masih mau menekuri artikel, tugas, atau laptopnya. Mungkin aku saat ini masih berada di sana. Di kampusku…

Aku bertanya-tanya, apakah pejabat fakultasku juga pernah mengalami kampus yang terbuka 24 jam untuk mahasiswanya belajar ketika mereka mengambil gelar master dan doktoral di luar negri sana? Jika pernah, pernahkah mereka berterima kasih untuk kebijakan yang dibuat oleh kampus mereka yang konon sudah maju dalam konsep tersebut? Mengapa ya, mereka belum membuatkannya untuk aku dan teman-temanku di sini…

Oh bulan, oh bintang… Tolong katakan pada mereka yang mungkin sudah terlelap, bahwa aku bermimpi memiliki kampus yang tidak akan mengusirku untuk belajar atau bekerja di sana. Entah sudah berapa kali aku di’usir’ satpam secara halus untuk melanjutkan pekerjaanku di rumah, atau esok harinya. Ketika itu terjadi, haruskah aku menjelaskan panjang lebar ke satpam untuk menjelaskan suatu hal yang sangat penting untuk belajar dan bekerja? MOOD!

Ketika mood itu masih ada, tolong, jangan padamkan apinya… Please…. Jangan usir aku pulang, Pak Satpam… Aku masih mau di kampus untuk belajar dan bekerja. Apa yang kau khawatirkan dengan keberadaanku di kampus sampai larut malam? Bahkan ibuku yang begitu mengenalku tak mengkhawatirkanku (karena ia tahu bahwa aku di kampus untuk apa).

Pak Satpam… kau bisa pantau aku dengan CCTV yang menyiarkan siaran langsung itu ke ruangmu. I’m not doing anything bad, there. Hey, come on. No reason to force me to go home. I need the athmosphere to study, to work… Why i can’t stay there as long as i need it? I’m neither a criminal nor a vandals. I just can’t find better place to study and work better than my campus can provide… I also can’t afford cozy cafe for working. My bedroom only persuade me to get sleep early and I don’t have other room to work… Can’t I stay there? On my own campus?

Fiuh fiuh fiuh…. i’m talking alone here… Anybody hear me???

*Aurelia Claresta Utomo adalah mahasiswi smester 9 yang sedang berupaya menyelesaikan skripsinya di Fakultas Ekonomika & Bisnis UGM, Yogyakarta

‘Mimpi’ tentang Solar Cell

Standar

solar farm

Sepanjang perjalanan menuju kampus hari ini, yang ada di kepala ini hanya tentang penghematan energi. Dan yang sudah banyak kukhayalkan adalah menggunakan matahari yang berlimpah untuk menggantikan bahan bakar fosil.

Dari kecil saya memiliki perhatian pada lingkungan yang lebih baik. Saya masih ingat, karena membaca Bobo, saya terinspirasi untuk menjadi ilmuwan yang membuat alat untuk mengolah air ‘kotor’ menjadi bersih sehingga layak diminum. Saya membayangkan di tiap rumah ada alat yang bisa membuat air bekas cucian, air bekas mandi, dan air buangan lainnya dapat menjadi bersih lagi.

Sekarang, ketika harga minyak dunia sudah mencapai US$120 per barel, dan ditaksir pada 2010 harganya mencapai US$200, maka kepala saya ini penuh dengan angan-angan agar atap-atap mall, atap kampus, bahkan atap rumah pribadi bisa diganti dengan panel-panel surya tersebut. Ini menjadikan gedung-gedung besar yang memakan banyak listrik merasa bertanggung jawab untuk menyediakan listriknya dari energi alternatif. Lebih mudah mengatur yang besar-besar daripada yang kecil-kecil (rumah tangga), misalnya, dengan kartu pintar BBM. Itu sih menurut saya. Mungkin saja salah kalau dari sudut pandang lain.

Dari majalah tempo edisi ‘Luka Ahmadiyah’, saya membaca bahwa di Jerman ada kampung solar cell. Jadi, atap-atapnya adalah solar cell. Saya juga teringat, bahwa di beberapa bagian dunia ini (mungkin Amerika), ada ladang panel surya. Mengenai ladang solar cell, saya sih nggak tahu ya, apa bagus apa nggak, karena kan tanah yang luas itu harusnya bisa dipakai buat nanem bahan pangan ya? Kan bahan pangan juga kurang. Tapi nggak tau juga sih, keadaan sebenarnya gimana.

Tapi sekali lagi, panel surya itu mahal. Yang punya kuasa, yang punya uang yang bisa memutuskan, apakah panel surya bisa diterapkan di gedung-gedung besar, di mall-mall, di universitas, dan di perkantoran. Saya sih, nggak punya apapun yang bisa merealisasikan hal itu. 🙂

Oya, saya jadi teringat baru saja membaca mengenai rumah termahal milik Mukesh Ambani, orang India. Menurut saya, akan lebih bijak kalau orang yang punya uang berlimpah itu, melakukan sesuatu untuk perbaikan lingkungan. Termasuk mengenai penyediaan energi alternatif, apapun itu alatnya/sumber energinya. Uang memang punya kuasa 🙂 Oleh karena itu yang punya uang haruslah menjadi lebih bijak dalam mengelola uangnya. Misalnya untuk mengentaskan kemiskinan, membangun bangsa, meningkatkan pendidikan, menyediakan pembangkit listrik tenaga ‘energi alternatif’. Huff… kalo nunggu pemerintah Indonesia yang notabene belum bisa dibilang sebagai pemerintahan yang kebanyakan duit, ya jalannya lambat. Harus ada yang membantu! Siapa? Hehehe…. tau sendiri kan, jawabannya.