sambungan Ranu Kumbolo: 9 Pelajaran untuk Pendaki Amatir (Bag 1)
5. Terlalu Awal untuk Tidur
Saya tidak ingat apakah ada larangan membuat api unggun di Ranu Kumbolo. Seingat saya ada. Logikanya, bisa merusak keasrian daerah sekita. Dengan tiadanya api unggun, apalagi jika hujan, maka mati gaya adalah kepastian dari manusia modern. HP mati, badan lelah, gelap, maka tidur bisa dilakukan pada pukul 7-8 malam setelah berbincang-bincang dengan rekan seperjalanan/ kenalan baru dari tenda sebelah. Dengan kondisi gelap, menginap di Ranu Kumbolo/Ranu Pani rasanya sama saja.
Bedanya adalah: ketika menginap di Ranu Kumbolo, jika langit cerah, bintangnya cantik sekali. Sayangnya, dinginnya angin pun tidak membiarkan saya bisa memandang langit berlama-lama
6. Foto dan Kenangan
Ngos-ngosan adalah nafas-yang-biasa ketika mendaki. Jadi, ketika ada jalanan menurun itu bagaikan bonus berharga, karena hampir setiap saat saya merasakan kehabisan-nafas. Amatir dan boros nafas. I’m very bad at doing long-run/marathon. I’d prefer doing sprint.
Tapi, walaupun demikian, haruslah menyempatkan diri untuk mengambil foto selama perjalanan barang 1-2 foto. Sempatkan pula melihat tumbuhan yang tumbuh di kiri-kanan. Tidak semua bisa dilihat di luar hutan.
7. Problem Buang Hajat
Saya dan 3 rekan pendakian saya tidak ada yang gembira dengan proses dan lokasi buang hajat kami. Yang terparah adalah ketika harus buang hajat di tempat yang terang benderang dan tidak tertutupi (mudah terlihat pendaki/orang lain).
Konon Ranu Kumbolo penuh ranjau kotoran manusia karena banyaknya kebutuhan pendatang yang buang hajat namun tidak bisa mencapai toilet. Untuk itu usahakan untuk membuang hajat di Ranu Pani. bagaimana pun kondisi toiletnya (bahkan tidak ada air di toilet sekalipun lebih baik daripada di semak-semak/lapangan terbuka — misalnya bisa diakali dg mengguyur dg air Aqua)
8. Kegagalan Penghematan
Karena turun dalam kondisi sangat lemah, dan tidak ada rombongan yang turun dalam 1 jam setelah kami, akhirnya kami terpaksa menyewa truk (menuju Tumpang) hanya berisikan tim kami (4 orang). Itu pun tidak nyaman karena jalannya berbatu besar dan off road sekali. Saya tidak bisa bayangkan jika menggunakan mobil jenis Avanza untuk naik/turun ke/menuju Ranu Pani.
9. Kelelahan dan Sakit setelah Pendakian
Kelelahan akibat turun gunung belum selesai. Tidur selama naik truk menuju Tumpang pun rasanya belum cukup. Sampai Tumpang bisa carter angkot tapi ybs syarat tidak ngetem tapi tetap mengambil penumpang. Apesnya: macet banget dan supir sangat ugal2an. Arjosari – hotel dengan angkot carteran pun sama macetnya.
Lelah maksimal dan tepar maksimal.
Sejak 2010 saya mengidap sinusitis maksilaris (radang rongga sinus di bag pipi). Sinusitis ini akan kambuh terutama ketika kondisi kecapekan dan suhu rendah. Dengan mendaki Semeru, saya mendapatkan combo: keduanya ada,
Sepulang dari turun gunung, jempol kaki saya mati rasa hingga 2 minggu lebih. Adik saya mengalami hal yang sama. Radang kerongkongan saya parah sekali hingga suara saya nyaris hilang selama beberapa hari dan batuk pilek masih menyusahkan hingga seminggu setelahnya.
Teman saya nampaknya mengalami lecet karena gesekan sepatu sendalnya dengan kaki. Gunakan kaos kaki yang cukup tebal supaya tidak lecet.
Demikianlah catatan saya sebagai pendaki amatir yang tujuannya menikmati alam dengan level beginner dan masih bersifat kekotaan (jauh dengan cara anak pecinta alam, atau dengan para porter). Semoga ada poin-poin yang bisa diambil dan membantu Anda dalam perencanaan pendakian yang serupa.
Ingat, bawa sampah Anda turun dari Semeru, karena tempat itu terlalu indah untuk dirusak. Masih banyak orang yang ingin menikmati keindahan yang sama seperti yang Anda (akan) pernah saksikan.
Akhir kata, selamat jalan-jalan, yaaa.