Ini adalah tulisan yang saya tulis per 8 November 2008, yang artinya sudah setahun lebih yang lalu (dan notabene saya belum menjadi jomblo). Baru saja saya baca lagi, dan walaupun agak ekstrim, kontroversial dan berat sebelah, ada maksud tersendiri untuk menulisnya demikian. Tiap tulisan tentu punya tujuan. Bagi yang tidak setuju, maupun setuju, silahkan berkomentar 🙂
Menjalin relationship dengan seseorang kadang (mungkin selalu) membuat hubungan antar 2 orang itu menjadi lebih buruk. Semakin dekat kita dengan seseorang. Kita seolah-olah memiliki dirinya. Memiliki hidupnya. Boleh protes atas hal-hal yang tidak pas menurut pandangan kita. Dianggap wajar ketika melarangnya untuk berteman dekat dengan lawan jenis. Bisa mengeluh tanpa segan. Bisa cemberut padanya ketika memang tidak suka. Bisa menjadikannya sebagai korban semprotan ketika kesal dengan orang/hal lain. Dan semua itu akan terus terakumulasi. Akumulasi hal-hal itu pasti akan membuat hubungan itu terasa seperti kendaraan yang sedang menuju ke neraka.
Oleh karena itu menurut saya, ada baiknya kalau kita tidak usah memiliki status pacaran apalagi menikah. Hubungan seperti itu hanya seperti racun dalam darah. Terutama karena ada bawaan hal-hal di atas, dalam setiap hubungan. Perilaku tersebut selalu dilakukan dalam ketidaksadaran ketika berhadapan dengan pasangan. Hal-hal itu yang menjadi racun dalam hubungan.
Hubungan dekat lain juga sama sebenarnya. Yaitu, hubungan keluarga. pandangan orang pada umumnya, wajar jika orang tua memarahi anaknya untuk suatu kebaikan. Wajar jika orang tua melarang anaknya memilih musik sebagai jalur untuk menghidupi diri, padahal anaknya menganggap dalam musiklah dia benar-benar merasa ‘hidup’. Pikiran seperti itu sama saja, racun. Hal-hal seperti itu seringkali membawa hubungan yang parah dalam hidup keluarga. Anak merasa kecewa karena tidak bisa memilih jalan hidupnya sendiri. Orang tua juga kecewa, anak yang dibesarkan dengan makan ati & uang yang tak sedikit, ternyata tidak bisa memenuhi harapan orang tua.
Saya berkesimpulan. Jika kamu seorang pacar, atau seorang suami/istri, jangan terlalu mencampuri hidup pasanganmu. Biarkan dia memilih apa yang dia suka, apakah berkarir, atau di rumah. Apakah dia mau mencintai orang lain selain dirimu, atau tidak. Jika tidak suka dengan kebiasaan buruknya, cukup ingatkan, dan tidak usah marah-marah. Jika dia tidak mau berubah, ya sudah. Selanjutnya adalah pilihan anda, masih mau bersama dia atau tidak.
Hal lain dari alur yang sama. Loyalitas dan kesetiaan adalah hal yang membingungkan. Dan mungkin juga adalah hal yang berpamrih. Seperti sebaris lirik lagu, “aku setia, kalau kau pun setia”. Kesetiaan adalah hal yang tidak murni juga dalam hubungan. Kesetiaan mengandung perjanjian tak tertulis mengenai suatu pertukaran. Begitukah seharusnya sebuah kesetiaan? Tampaknya tidak. Setahu saya, kesetiaan harusnya tidak berpamrih. Saya mengambil contoh dari Tuhan yang saya percayai ada. Allah itu setia. Allah setia pada kita, memberi kita rahmat hari per hari, walaupun kita adalah koruptor kelas kakap, penganiaya hati orang, dsb. Allah setia, dan apakah kesetiaannya berpamrih? Jadi, bagaimana kita bisa mengatakan, aku akan setia pada pasanganku, dan aku juga berharap dia setia padaku. Ketika dia tidak setia, maka kesetiaanku juga akan berakhir. Bagaimana kita harus bersikap?
Kembali ke bagaimana kita harusnya bersikap kepada pasangan. Saya rasa, orang yang pernah jatuh cinta dan cintanya berbalas, bisa memahami penjelasan saya berikut. Bagaimana saat seseorang mulai jatuh cinta pada orang lain? Dia akan terus terbayang-bayang akan orang tersebut. Mengingat-ingat betapa manisnya dia, dan bertapa mengagumkannya apa yang dia lakukan, sehingga ia ingin selalu ada di dekat malaikat itu, karena dengan bersamanya ia bahagia. Kemudian ketika mereka bertemu, senyum tak pernah lepas dari bibirnya. Pujian tak segan-segan dilontarkan pada si dia. Hal-hal manis juga dilakukan untuk membuat dia senang. Masing-masing akan menampilkan dirinya seindah mungkin. Itulah mengapa setiap orang merasa sangat bahagia ketika jatuh cinta.
Selanjutnya, ketika mereka akhirnya sepakat untuk menjadi sepasang kekasih-atau-suami/istri, muncullah hal-hal yang tidak mereka inginkan. Pasangan itu berubah dari sosok malaikat, menjadi sosok setan. Suka marah-marah, selalu ingin diperhatikan, hanya memikirkan diri sendiri, tidak mau memahami perasaan pasangannya, dan sederet hal-hal serupa. Maka hubungan mereka pun menjadi tidak berarti lagi. Kebersamaan mereka tidak seperti tujuan awal mereka berikrar.
Cerita yang buruk itu bisa tampak lebih buruk lagi ketika datanglah sesosok malaikat lain yang siap memberi air pada hati yang kering. Orang umum menyebutnya selingkuh. Sebenarnya itu kan, masalahnya, pada orang yang berselingkuh (kecuali mereka yang memang tidak menganggap serius suatu hubungan-mereka sering disebut playboy/playgirl).
Masyarakat pasti akan menyalahkan orang yang berselingkuh, dan bersimpati pada orang yang ditinggal berselingkuh oleh pasangannya. Padahal, perselingkuhan itu, mungkin awalnya adalah karena orang yang ditinggal berselingkuh ini, tidak lagi mampu menjadi malaikat dalam hidup pasangannya.
Oleh karena itu, yang terpenting, jagalah hubungan anda dengan semua orang yang anda kasihi. Dan jadilah malaikat dalam hidup mereka. Ketika anda sudah bukan malaikat lagi dalam hidupnya. Maka dapat dipastikan, orang itu akan merindu hadirnya malaikat lain dalam hidupnya.