Monthly Archives: Oktober 2011

Photo Session @ Bosscha

Standar

Di sini saya cuma mau pamer foto. Hahaha… Biar pada mupeng…. *padahal nggak ada yang pengen juga, GR*. Kadang kala, terlalu cepat datang ke suatu tempat itu berkah bin anugrah. Gara-gara kecepetan datang di Bosscha, saya malah menemukan bahwa daerah observatorium ini indah untuk digunakan berfoto-foto. Intinya, fokuslah pada pemandangan alam dan kemampuan alam menciptakan foto-foto ini, jangan fokus pada ‘model’nya, yah.

Kebanyakan orang hanya berfoto di sekitar teropong Zeiss (diberi nama sesuai dengan lensanya yang buatan Carl-Zeiss). Tapi justru foto-foto yang saya pajang ini nggak satupun mencuri pesona si teropong yang sering dikenal dengan nama Bosscha itu.

Sebagai informasi aja. Teropong yang paling terkenal di observatorium Bosscha bernama Zeiss. Bosscha sendiri adalah nama dari areanya. Area observasi bintang. Bosscha adalah nama dari tuan tanah yang memiliki tempat itu. Beliau dulu adalah pemilik perkebunan teh yang kaya di sana.

Di bawah ini adalah foto saya di bawah pohon bougenville yang sudah besar sekali. Bunganya yang rontok memberikan kesempatan untuk menciptakan setting foto yang bagus. Sekali lagi yang bagus adalah tempatnya ya. Saya nggak mau komen soal modelnya. 😛

Pancaran matahari saat itu juga membantu menciptakan foto dengan efek cahaya yang dramatis seperti foto di bawah ini. Kalau mupeng, segera ke sana deh. Sekedar numpang foto-foto aja. Menurut saya sih, fotonya sedikit mirip dengan foto-foto di luar negri 🙂

Makan @ Bandung [1]: Warung Laos

Standar

Yang paling menarik dari sebuah perjalanan, adalah kadang kita tidak tahu akan menemukan apa di perjalanan. Di tengah kebingungan klasik ‘mau makan apa’ di daerah Ciwalk, saya dan Herman masuk ke dalam sebuah warung makan yang nampaknya asik, namanya Warung Laos. Alamat pastinya adalah Jl. Prof Eyckman No.2. Nampak agak kuno, banyak elemen kayu, tapi tidak melompong. Beberapa orang telah duduk santai di sana. Hujan rintik-rintik mempercepat pengambilan keputusan. Kami mau makan siang di situ saja.

Salah satu pemiliknya adalah Darwis Triyadi

Awalnya dengan melihat papan nama si warung, asumsinya yang dijual adalah ayam-tahu-tempe bacem. Itu adalah asosiasi terdekat dari nama Warung Laos. Begitu masuk, ternyata ini adalah pizzeria. (-_-“) pemilihan nama yang aneh.

Masuk dan memilih tempat duduk di lantai atas. Harapannya bisa melihat pemandangan jalan Cihampelas yang sempit namun ramai dari atas. Apa daya, ternyata posisi strategis sudah diduduki tamu lain. Maka, akhirnya cuma bisa melipir. Nasib.

Yang kami pesan adalah potato skin & sausage serta pizza. Sayang sekali pizzanya nggak ke-foto.

Kedua menunya oke. Penyajian minumannya pun menarik, walaupun cangkirnya belepotan. Belum puas? Take away saja. Kemasannya adalah anyaman bambu yang biasa buat bungkus moci. Heheh. Lucu. Seperti yang saya bilang tadi, Darwis Triyadi adalah salah satu pemiliknya (pengakuan karyawan di sana loh, ya), nggak heran ada hasil karya beliau di dinding Warung Laos.

Naahh… cobain ya, kalau belum pernah mampir… Kasih rekomendasi kalo ada menu lain yang enak! 🙂

Di Usia 24 Tahun

Standar

Gregetan juga nge-post tulisan yang kejadiannya nggak up-to-date. Ya, maksud saya yaa.. tulisan tentang perjalanan ke Kamboja itu. Apa boleh buat. Memang harus ditulis sebagai komitmen saya untuk menuliskan sejarah hidup saya sendiri. Ya, masa orang lain yang akan menuliskannya. Emangnya saya siapa? Hehe.

Kemarin adalah peringatan ulang tahun saya yang ke-24. Hanya ada beberapa orang yang mengucapkan selamat ulang tahun, dan itu nampaknya tanpa bantuan Facebook, sehingga jumlah ucapan yang diterima sangat ringkas (saya menyembunyikan tanggal ulang tahun saya dari siapapun di Facebook). Terus terang, saya senang dengan hal itu. 🙂 Why? Karena yang mengucapkan adalah orang-orang tertentu saja, yang dengan caranya sendiri, entah reminder dari mana, mencatat tanggal kelahiran saya. Terima kasih yaa… *tersipu-sipu*.

Hanya ada 2 orang yang menanyakan 1 hal paling wajib dalam hari ulang tahun. Pertanyaannya adalah “Apa harapanmu?”

Jawabanku adalah, aku ingin memiliki Social Business. Entah cepat entah lambat. Itu yang saya pikirkan tentang hidup saya ke depannya. Saya tidak dapat memikirkan hal lain yang lebih baik dan melegakan daripada bekerja untuk tujuan sosial dalam hidup saya.

Untuk itu saya  sedang membaca bukunya Muhammad Yunus yang berjudul Building Social Business. Semoga bisa cepet selesai, jangan sampai terlantar bertahun-tahun seperti sebagian buku-buku lainnya.

Saya tidak meniup lilin ulang tahun kemarin. Tapi saya rasa, harapan ini terdengar oleh jiwa saya, oleh alam, oleh Tuhan… Semoga bisa terwujud. Karena inilah tujuan hidup saya, seperti doa setiap orang tua untuk anaknya: berguna bagi nusa dan bangsa.

Sekilas Siem Reap

Standar

Walaupun bandaranya Siem Reap memang sueepi, ternyata kotanya banyak turisnya. Saya menghabiskan 3 kali waktu makan malam di Siem Reap. Ketiganya di restoran yang berbeda, namun ada 2 kesamaan dari 2 restoran terakhir. Apa itu? Restorannya beesarrr dan selalu ada pertunjukan Apsara dance.

Saya mendengar gosip dari si tour guide, para penari Apsara dibayar sangat sedikit, yaitu US$ 1 per kali tampil. Heeh? Serius? Hmmm, jadi penasaran, berapa bayarannya penari yang tiap malam tampil di Candi Prambanan.

 

Kembali ke restoran. Restoran Kamboja di Siem Reap tidak mencerminkan makanan lokalnya. Atau memang karena disesuaikan dengan makanan yang sudah umum dimakan oleh turis Asia dan Barat pada umumnya. Makanan di restoran pada umumnya chinese food dan sedikit campuran makanan dari Vietnam. Di restoran yang menyediakan buffet/all you can eat, ada juga spaghetti, goreng-gorengan, dimsum, sate, salad, dan makanan yang umum orang Indonesia makan. Kelak di Phnom Penh juga sama saja variasi makanan buffet-nya. Tapi hati-hati buat yang muslim, banyak daging babi beredar sebagai makanan di sana. Hehehe.

Sekedar informasi, restoran yang saya kunjungi di Siem Reap adalah: Tropical Restaurant (jalan masuknya melewati kampung dikit), Amazon Angkor Restaurant, dan Koulen II Restaurant. 

Laba-laba goreng

Sebelum berangkat ke Kamboja, saya sudah sempet browsing dulu tentang snack khas Kamboja yang mungkin bisa saya bawa pulang sebagai oleh-oleh. Apa jawaban Google? Ditampilkanlah berbagai serangga goreng kering nan kemripik. Hiiii… Nggak ada yang tertarik waktu saya tawari oleh-oleh itu *muka jahil*.

Oh ya, mengingat pendidikan bahasa orang Siem Reap tidak merata bagusnya, ada yang lucu dengan neon box yang dipasang di daerah Night Market.

 

Di sana pijat itu bener-bener murah. Yang di Night Market, bisa pijat dengan mulai dari US$ 2 plus tip untuk 15 menit. Tapi, kualitas sentra-sentra pijat di Siem Reap tidak semuanya bisa dipertanggungjawabkan. Beberapa rekan kantor merasa pijatannya nggak bertenaga, ada yang jadi sakit-sakit badannya. [bersambung]