Category Archives: bahasa

Ngomongin Busway

Standar

Banyak cerita seputar angkutan umum bus TransJakarta. Selama stay di Jakarta, saya selalu mengandalkan TransJakarta untuk wira-wiri ke sana-ke mari. Syukurlah sampai sekarang saya masih memanggilnya dengan nama aslinya, TransJakarta. Saya belum berhasil tercemar dengan penggunaan nama ‘busway’ ala orang Jakarte.

Di suatu malam, perjalanan pulang ke kos teman di Dukuh Atas, saya tak tahan untuk tidak tersenyum ketika seorang bapak tua mengangkat telepon-seluler-tahun-jebotnya dan mengatakan pada lawan bicaranya “gua lagi di biswai”. Ya ampun, how come namanya bisa berubah begitu? Busway masih oke, lah ya. Biswai? Sejenis pawai atau tetangganya Hawaii? Sungguh menyesal saya tidak bisa menahan senyum nggak sopan saya.ย Maafkan saya, Pak… Saya ‘sok kota’ dan ‘sok terpelajar’ (agak menyesal).

Kembali dengan kebiasaan orang-orang menyebutnya busway. Temen-temen Jogja saya yang sudah jadi orang Jakarta (kerja dan mulai menetap di Jakarta) juga sudah memanggilnya busway. Memang melawan arus itu nggak mudah. Lagian, ngapain juga ngelawan arus. Toh semua orang juga ngerti, apa itu busway.

Trus, kenapa saya masih terus bilang “TransJakarta” kalo ada yang nanya “nanti mau ke sana naik apa?”? Simple. Karena kendaraan itu nggak pantes disebut busway. Anak TK ato SD juga tau kalau bus way itu kalau diartikan ke bahasa Indonesia, artinya jalan bus. Penulisannya pun dipisah: bus (spasi) way, dan bukan busway. ๐Ÿ™‚ Kenapa saya seolah ngotot? Ya karena menurut saya ini adalah bukti kekonsistenan. Mengapa saya harus benar dalam memilih kata interesting dan interested, kalau saya sudah salah menyebut bus dengan bus way?

Hey hey hey, saya nggak berdiri menantang sekian juta manusia Jakarta, yang nyebut bus TransJakarta sebagai busway ya…. Saya hanya menjelaskan, kenapa saya berperilaku beda. That’s all… Saya nggak niat nyolot dengan tulisan ini. Saya pendamai. Ga suka cari ribut. Ribut itu adalah kegiatan yang nggak menghasilkan keuntungan dan cuma menyerap habis ketenangan hati (yg mahal harganya).

Saya rasa, masyarakat juga nggak salah kalo menyebut si bus sebagai busway. Kenapa? Karena dari penyedia jasa sendiri seolah menamai diri busway. Terlihat di ruas jalan bus TransJakarta, plang hijau bertuliskan ‘jalur khusus busway’. Ada plang merah bergaris putih (tanda dilarang masuk/dilarang lewat) dengan tambahan kata-kata ‘kecuali busway’. Terdengar rekaman suara wanita di dalan bus, ‘terima kasih, sudah menggunakan jasa bus TransJakarta, busway’. Heleh-heleh…. Ya pantes aja semua orang jadi manggil si bus sebagai busway.

Saya mikirnya sih gini, Jakarta kan banyak bule-nya ya. Cerita tentang busway ini mungkin juga jadi oleh-oleh buat semua kerabat, teman, sodara di negara asal. Bahwa di Indonesia (maksudnya Jakarta, tapi sapatau nama Indonesia yg dibawa-bawa) bus way adalah nama kendaraan ๐Ÿ™‚

Kejadian ini lucu, karena bahasa Inggris adalah bahasa internasional yang paling populer di Jakarta (dan Indonesia). Anak muda gaul, kaum eksmud, sosialita-nya bahkan lebih bagus dalam menggunakan bahasa Inggris daripada bahasa Indonesia. So fluent… Mereka seringkali mengerti istilah Inggrisnya, tapi susah untuk menemukan kosa kata Indonesianya. ๐Ÿ™‚ Pertanyaannya: “Bagaimana mereka bisa salah pakai begitu ya?,” mungkin begitu kira-kira pikir para bule itu.

Syukurlah di Jogja, namanya masih TransJogja. Karena ga pernah ada plang dan semprotan cat di aspal yang menuliskan ‘busway’. Good job Jogja…. Hehehe ๐Ÿ™‚

Pebruari atau Februari?

Standar

Dulu, dengan yakin saya akan menulis Pebruari, karena begitulah yang benar berdasarkan sumber yang bisa saya percaya (sebagai seorang pemerhati bahasa).

Sekarang, kok makin jarang saya lihat, tulisan Pebruari. Maka saya bertanya-tanya. Apakah masih Pebruari atau sudah dijadikan Februari saja? Soalnya saya cek di Kompas, mereka menggunakan “F” alih-alih “P”.

So… mulai sekarang, saya akan menuliskan Februari sebagai nama bulan kedua dalam kalender masehi.

Psikolog, Psikiater, Etika, Etiket ……

Standar

Pertemuan pertama kuliah Psikologi Dasar. Seorang lelaki dari arah belakang (saya memang duduk di barisan paling depan) bertanya… “Apa bedanya psikolog dengan psikiater, Bu?” Waduh…. Ini dia… Saya juga lupa, kapan saya mengetahui perbedaan kedua profesi itu (maksudnya untuk mengira-ira, apa saya pantes ngetawain dia, atau sebenernya ini wajar aja).

Tentu psikolog dengan psikiater berbeda. Karena saya tidak kuliah baik di fakultas psikologi maupun kedokteran, ya saya hanya mengingat perbedaannya begini:

Psikolog itu basic-nya psikologi. Jadi, lebih melayani curhat, konsultasi masalah, dsb. Nah, kalau psikiater itu aslinya dokter. Jadi, psikiater bisa memberikan obat penenang anti depressan dan sebagainya, sedangkan psikolog tidak.

Saya jadi ingat satu hal lagi. Tentang etika dan etiket. Kadang-kadang saya geli juga kalau menemukan orang menggunakan satu kata yang tidak tepat. Karena kata etika lebih populer, kadang-kadang orang menggunakannya untuk mengatakan sesuatu yang harusnya disebut etiket. Nah, tentang etika dan etiket ini saya ingat betul. Saya mengetahuinya sekitar kelas 3 SMA.

Gampangnya, etiket itu hubungannya sama sopan santun, tata krama. Kalau pas tidak ada orang lain, nggak masalah kok, mau makan sambil angkat kaki, mau ngupil saat makan. Sedangkan etika berhubungan dengan sesuatu yang hubungannya vertikal (pada Tuhan). Jadi mau ada orang yang lihat atau tidak, sesuatu yang salah tetap tidak seharusnya dilakukan.

Ya… demikianlah