Daily Archives: September 26, 2010

Pintar dan Sukses ala Indonesia

Standar

Saat ‘menggelandang’ di stasiun Sudirman tadi malam, saya menonton Kick Andy. Episode yang disponsori Djarum ini diberi judul Demi Prestasi Sang Buah Hati. Talkshow-nya menyorot tentang dukungan orang tua untuk anaknya yang ingin menjadi atlet.

Sebagai orang Indonesia, kita sama-sama tahu. Menjadi atlet bukanlah cita-cita yang lazim.

Cita-cita yang lazim itu jadi dokter, engineer, CEO, manajer, akuntan, guru/dosen, ahli IT, dan PNS.

Jadi penyanyi rock, pesulap, penari, seniman, olahragawan, ahli sastra daerah, ahli sejarah bukan hal yang membanggakan bagi sebagian besar orang tua di Indonesia. Mungkin tidak hanya di Indonesia. Film 3 Idiots memberitahu orang Indonesia, bahwa di India itu pun terjadi. Di Amerika pun setahu saya, ada profesi-profesi yang dianggap lebih tinggi dan terhormat daripada profesi lainnya (misalnya lawyer & wealth/finance manager)

Setelah Herman menonton 3 Idiots (dan saya baru nonton 1 part di Youtube). Dia beberapa kali membawa topik ini ke dalam pembicaraan kami. Maka, bergulirlah pembicaraan tentang hal ini. Tentang menjadi diri sendiri. Tentang mengejar jati diri. Mengejar passion hidup. Tentang ‘aku mau jadi apa’.

Sama seperti pendukung gerakan go green yang terus mendengung-dengungkan supaya orang mulai bergerak aktif mengubah gaya hidupnya kembali mencintai alam. Sama seperti Rene Suhardono yang terus mendengungkan agar orang menyadari bahwa orang perlu menemukan passion hidup dan mengejarnya sampai mati. Sama seperti Yoris Sebastian yang memiliki keyakinan happynomics dan meyakinkan pemuda-pemuda untuk bekerja dengan happy. Saya dengan post ini ingin menyambung semangat ini. Mengangkat tema ini supaya semakin banyak orang diteguhkan, bahwa orang pintar adalah orang yang mengenal dirinya dan memilih jalan yang sesuai dengan bakat dan kesenangannya.

Tuhan menciptakan manusia begitu beragam. Orang memiliki hobi yang berbeda-beda, bakat yang berbeda-beda. Untuk apa? Untuk menciptakan dunia yang utuh dengan segala bagian-bagiannya. Manusia hanyalah satu bagian dari sekian milyar* komponen alam. Seorang manusia juga hanya memegang 1 bagian dari tugas semua manusia. Mengapa harus menjadi pintar dan sukses dengan ukuran yang bukan dibuat untuk anda?

Di Indonesia, orang yang disebut pintar itu terbatas pada yang jago eksak (exact science).

Kalau di tingkat sekolah menengah atas (SMA), yang pintar adalah yang masuk ke kelas IPA. Anak IPS konotasinya adalah buangan, apalagi kelas Bahasa. Hal itu membuat orang Indonesia secara tidak sadar, menempatkan kemampuan eksak sebagai indikator dari predikat PINTAR. Saya ingin bertanya, apakah hal itu fair? Anak yang pintar menari seperti Brandon ‘Indonesia Mencari Bakat (IMB), andaikan dia ngitungnya lemot, terus dia nggak boleh dibilang sebagai anak pintar? Joe Sandy dari acara pencarian magician berbakat, The Master dibilang pintar karena dia jago menghitung. Perhatikan hal ini. Kata pintar menjadi identik dengan kemampuan menghitung dan logika. Betapa miskinnya kata itu.

Brandon IMB

Fakultas Kedokteran dan Teknik juga merupakan yang favorit di Indonesia. Mengapa? Karena pride. Orang pintar akan berebut masuk ke fakultas-fakultas tersebut. Berhasil masuk dan lulus dengan predikat cum laude dari fakultas itu, orang tua dijamin akan bangga. Kebanggan orang tua (yang tidak moderat) menjadi begitu terbatas. Mengapa nggak bisa bangga kalau anaknya jago balap motor seperti Doni Tata dan jago nge-rock seperti Ahmad Dhani?

Setahu saya, semua org ingin menjadi pribadi yang unik. Tapi anehnya, mereka ingin dinilai pintar dengan parameter yang sama: jago logika, jago ngitung. Juga mau diukur kesuksesannya dengan indikator yang sama: kesuksesan finansial.

(Aurelia Claresta – 14 September 2010 10:17 – bus Trans Jakarta, halte Bank Indonesia)

Kenapa orang tua bisa bangga kalau anaknya jadi dokter yang lulus cum laude yang tidak bahagia karena lebih suka mengutak-atik komponen elektronik? Bukankan ini adalah sesuatu yang salah?

Tokoh Keenan dalam buku Perahu Kertas-nya Dewi ‘Dee’ Lestari adalah contoh dari anak yang bisa dapat nilai terbaik di Fakultas Ekonomi namun jiwanya hidup di kegiatan melukis. Memang Keenan adalah tokoh fiksi. Namun, saya yakin, tidak sedikit Keenan-Keenan lain di Indonesia, yang tidak bisa memilih jalan hidupnya, tapi dipilihkan orang tuanya. Orang tua seperti itu adalah pembunuh. Pembunuh ‘semangat hidup’ dari diri anaknya. Tapi biasanya mereka merasa melakukan hal itu demi kebaikan si anak. Demi kesuksesannya. Sekali lagi, SUKSES diukur dengan hal yang tidak tepat: kemapanan secara finansial.

Seniman miskin saya rasa akan lebih bahagia daripada direktur kaya yang terkungkung pekerjaan di kantor padahal jiwanya ada di tempat lain. Toh “manusia tidak hanya hidup dari roti saja”, kan? Seringkali ada masa dimana makanan bagi jiwa itu lebih penting daripada makanan bagi tubuh.

Kesuksesan hidup seseorang bukan ditentukan seberapa banyak uang yang ia dapat, seberapa tinggi jabatannya, seberapa famous kenalan-kenalan dan rekan kerjanya. Kesuksesan hidup menurut saya, terjadi ketika orang itu berhasil menunjukkan karyanya, yang terjadi karena ia begitu mencintai dan memperjuangkan apa yang ia kerjakan. Kecintaan dan perjuangan itu akan membuahkan hasil yang sangat luar biasa. Penemuan-penemuan luar biasa di abad ini, lahir dari orang-orang yang mencintai apa yang ia lakukan (baca: kerjakan).

Nugie

Mia Thermopolis, tokoh dalam serial The Princess Diaries di masa remajanya akhirnya menemukan dirinya sebenarnya memiliki bakat, yaitu bakat menulis. Awalnya dia merasa dirinya biasa-biasa saja dan tidak berbakat. Semua orang pintar dengan caranya sendiri-sendiri. Dan semua orang bisa sukses jika ia mengikuti Lentera Jiwanya.

Sebagai penutup, bagi yang belum pernah, saya ingin anda melihat video klip Lentera Jiwa dari Nugie (saran saya, nontonnya full screen aja).

Kalau masih kurang, ini saya punya link video 1 lagi.

catatan: *sebenarnya penggunaan kata milyar ini tidak tepat, cuma kalau saya pake istilah kuadriliun dan kuantiliun nanti yang baca mabok.