Tag Archives: fisika

17 Agustus, Bendera, dan Upacara

Standar

Kemarin siang, dalam perjalanan menuju sebuah rumah di bilangan Kota Gede, saya terhenti oleh lampu lalu lintas. Dua orang pedagang asongan langsung beraksi ketika lampu hijau mati dan lampu merah menyala. Satu hal yang saya perhatikan adalah, barang dagangan mereka. Salah satu dari pedagang itu lewat di samping kiri saya dan membawa bendera-bendera kecil hiasan kaca mobil. Ya ampun, sudah dekat lagi dengan perayaan kemerdekaan Indonesia. Bikin saya berpikir, ini tanggal berapa, sih? Ehm, ya… tanggal 21 Juli. Waktu terasa cepat berlalu. Tahun 2010 sudah masuk ke semester keduanya….

Membicarakan kemerdekaan dan peringatannya. Saya tidak merasa bersalah karena tidak ingat, tahun ini Indonesia sudah berumur berapa ya. Tapi saya lebih merasa bersalah karena saya belum memberikan banyak hal pada Indonesia.

Awal tahun ini saya baru lulus kuliah. Hingga saat ini belum memiliki pekerjaan kantoran (baca: akhirnya saya memutuskan saya ingin bekerja kantoran). Dan saya masih terus geregetan dengan kebelummampuan saya untuk menyumbang suatu hal baik bagi negara ini.

Dua malam yang lalu saya ingat, saya menonton acara televisi Metro 10. Temanya adalah 10 wanita inspirasional Indonesia. Saya tidak sempat duduk lama dan menyaksikan semuanya. Namun, setidaknya saya sempat melihat profil singkat 5 orang wanita tidak terkenal yang sudah berbuat sesuatu untuk negaranya. I wanna be one of them, one day.

Life is not about how rich you are, but about how worthy your contribution for others – Aurelia Claresta U

Saya jadi teringat 6 tahun lalu, saya mewawancarai Vincent Liong yang dulu bagi saya cukup fenomenal karena memiliki forum milis atas namanya waktu dia masih duduk di bangku SMA. Waktu itu dekat dengan momen sumpah pemuda. Saya mewawancarai dia, untuk mengisi rubrik SOSOK pada majalah AGAPE, yang dibuat kelas saya (baca: 3 IPA) untuk perlombaan majalah kelas. Dia mengatakan, upacara-upacara itu nggak perlu lah. Tapi kalau semacam pawai dan karnaval masih oke (saya rasa karena ada nilai budaya dan jadi hiburan masyarakat juga). Tentu maksudnya adalah kita nggak perlu terjebak dalam suatu kesibukan yang hanya sifatnya hanya simbolik. Lebih baik berbuat sesuatu yang mengharumkan nama bangsa, berguna bagi orang banyak, dsb.

Hari Minggu siang yang lalu (18/7) saya sempat menonton tayangan ulang Kick Andy “Tiada yang Tak Mungkin” yang menampilkan Renald Khazali, Azyumardi Azra, dan Yohanes Surya. Tema talkshownya adalah mengenai orang sukses dan bisa bersekolah tinggi karena beasiswa. Dari ketiganya, saya memberikan apresiasi yang tinggi, standing applause kepada Yohanes Surya. Ia adalah orang yang tergerak untuk menjadi pengajar bagi anak-anak Indonesia yang berbakat di bidang fisika. Dan yang membuat saya terharu adalah ketika dia mulai mencari bakat-bakat dari pedalaman Papua. He is someone for Indonesia. He is a legend, for sure. Sangat bersyukur di dunia ini ada orang-orang yang inspiring seperti dia.

Satu catatan saya. Jangan lihat bahwa karena dia memiliki talenta kecerdasan, kemudian dia bisa menjadi seperti itu. Sama sekali bukan. Yohanes Surya juga punya kelemahan. Waktu melamar beasiswa ke jenjang S2 di Amerika, ia harus pintar-pintar mengakali bagaimana menutupi nilai TOEFLnya yang hanya 415. Berkat usaha kerasnya yang tidur hanya 3 jam sehari (pukul 23:00-02:00) ia bisa lulus tes untuk langsung loncat ke program Ph.D (karena beasiswa S2 mensyaratkan ia harus mengajar padahal bahasa Inggrisnya sangat terbatas, maka ia mencari cara agar mendapat beasiswa tanpa harus mengajar). Kembali ke penekanan saya di atas. Yohanes Surya menjadi someone bukan karena kejeniusannya. Tapi, terletak pada kerelaannya berbagi ilmu bagi kepentingan anak-anak Indonesia. Kerelaannya untuk mendedikasikan waktu yang bisa dia nikmati sendiri dengan keluarga. Kerelaan melepas kesempatan tinggal di Amerika dengan green card yang sudah di tangan. Kerelaan untuk tidak menikmati sendiri apa yang dia punya.

Demikianlah hidup yang benar-benar hidup. Demikianlah hidup yang layak untuk dijalani. 🙂

Saya ingin memberi gambaran atas apa pesan yang ingin saya sampaikan melalui tulisan ini. Ada seorang yang mengikuti upacara bendera pada tanggal 17 Agustus dengan khidmat. Namun begitu upacara selesai, ia kembali kepada hidup sehari-harinya yang membuang sampah sembarangan di jalan (dengan asumsi, nanti ada yang nyapu). Ia tidak pernah mau memberikan jalan bagi pengendara lain yang mau pindah jalur di kemacetan. Ia menempel poster di dinding-dinding ruang publik untuk kepentingan organisasi maupun acara yang diselenggarakannya. Ia terbiasa menunjukkan ia berada di kelas sosial tertentu dan ‘nggak level‘ dengan orang-orang ‘kampungan’. Pun tidak mau memberikan tempat duduknya untuk penumpang kendaraan umum yang lebih pantas duduk. Ah…. lebih baik menjadi kebalikannya. Nggak upacara tapi benar-benar berusaha untuk menciptakan lingkungan dan kehidupan bermasyarakat yang lebih baik, hari ke hari.

Saya juga ingin menyerukan, kalimat yang tidak tiap tahun saya ucapkan: Dirgahayu Republik Indonesia. Semoga rakyatmu semakin makmur dan maju kehidupannya.

NB: Ehemmm…. tau kan, dirgahayu artinya apa? Yak! Dirgahayu artinya berumur panjang  *ngedip sebelah mata